Pastor John Prior: Vatikan Harus Buka Hasil Penyelidikan Kasus Moral Kaum Klerus
Floresa.co – Pastor John
Mansford Prior SVD, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,
Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengusulkan agar Tahta Suci mengakhiri
tradisi merahasiakan kasus-kasus moral yang melibatkan para uskup dan
imam.
Dalam artikelnya di Majalah Mingguan Hidup, misionaris
kelahiran Inggris yang sudah 40 tahun berkarya di Flores itu
mengatakan, “proses penyelidikan kasus moral atau kasus pidana di
kalangan klerus harus terbuka.”
“Semestinya kalau ada tuduhan yang
beralasan, uskup atau pastor bersangkutan langsung dinonaktifkan, tentu
dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tak bersalah, lantas
diadakan proses pemeriksaan dan pengadilan yang serba transparan, sama
seperti dalam negara,” tulis Pastor John.
Ia mengatakan, “kita harus bersikap dan
bertindak adil terhadap uskup atau pastor yang dituduh, juga adil
terhadap umat yang dililiti gosip yang berleleran.”
Advertisement
“Jika Tahta Suci memaksa seorang uskup menarik diri, hasil pemeriksaan serta pengadilan atas uskup itu harus diumumkan secara resmi,” tegasnya.
Tulisan berjudul “Hasta Harapan” itu terbit dalam Mingguan Hidup edisi 29 Oktober 2017 yang secara khusus mengulas soal kasus pengunduran diri Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Pr.
Vatikan menerima pengunduran diri Uskup
Leteng pada 11 Oktober setelah sebelumnya melakukan investigas terkait
tudingan adanya penggelapan dana Gereja senilai lebih dari Rp 1,6 miliar
dan isu terkait hubungan gelapnya dengan seorang perempuan.
Dalam pengumuman resminya, Vatikan tidak
menjelaskan alasan pengunduran diri Uskup Leteng, yang kemudian diganti
oleh Mgr Silvester San sebagai administrator apostolik hingga
penunjukkan uskup yang baru.
Pastor John dalam opininya tidak menyebut
eksplisit kasus Uskup Leteng. Namun, di bagian awal artikelnya, ia
mengungkapkan kegundahannya terkait perubahan drastis kehidupan kaum
klerus.
“Sekarang gaya hidup mewah bergandengan dengan pelanggaran hidup selibat, menjadi isu dan gosip di banyak tempat,” katanya.
Imam, kata dia, berlagak bagai pejabat dan tidak lagi berbaur dengan rekan-rekan umat di ladang Tuhan.
“Tampaknya, kalau satu kaul dilanggar, kaul lain melonggar,” tulisnya.
“Gelagatnya, dosa para pejabat publik telah merasuk masuk ke dalam kalangan para klerus,” lanjut Pastor John.
Ia mengatakan, tentu saja masih banyak imam yang hidup sederhana berkat kemampuannya melebur dengan umat awam yang sahaja.
“Sayangnya standar hidup sebagian para
klerus sudah jauh di atas standar hidup kebanyakan umat awam yang mereka
layani,” katanya.
Di wilayah NTT, urainya, umat awam paling
kurang semakin diperas, selain lewat iuran paroki, juga rupa-rupa
kolekte dan stipendium sakramen yang melangit.
Pastor John menyebut, adalah celaka karena sakramen-sakramen yang dianugerahkan Tuhan dengan cuma-cuma kini diperjualbelikan.
Ia menyebut, tahun ini, yang bertepatan
dengan 500 tahun Reformasi Protestan mesti disadari sebagai peringatan
bagi Gereja, bahwa skandal ‘jual beli rahmat’ itu yang memicu perpecahan
Katolik dan Protestan.
Perubahan Mekanisme Pemilihan Uskup
Dalam artikel itu, ia juga menyinggung soal perlunya perubahan mekanisme dalam penunjukkan uskup.
Mendukung langkah terbaru Paus Fransiskus yang
secara terbuka meminta para pastor, anggota tarekat-tarekat religius
serta umat awam se-Keuskupan Roma merekomendasikan kandidat-kandidat
untuk jabatan Vikaris Jenderal yang de facto bertindak sebagai Uskup
Roma, kata dia, hal itu kiranya perlu diterapkan di seluruh dunia.
“Kalau ini sudah terjadi di Roma, timbul pertanyaan, kapan Tahta Suci akan meluncurkan model
serupa bagi seluruh Gereja seputar pengangkatan uskup melalu konsultasi
terbuka dengan dewan imam, dewan pastoral keuskupan serta dewan
pastoral paroki,” tulisnya.
Menurut dia, tentu ada bahaya bahwa
konsultasi terbuka bisa dipolitisir. Tetapi, lanjutnya, siapa bisa
memastikan bahwa proses yang terjadi selama ini, yang juga dirwanai
lobi-lobi di balik layar, lebih baik.
Ia menjelaskan, Dewan Sembilan Kardinal
yang berkonsultasi dengan Paus setiap tiga bulan pernah membahas
kemungkinan supaya prosedur pemilihan, pengangkatan dan pengunduran diri
seorang uskup diatur melalui proses yang lebih terbuka.
“Kiranya rekomendasi -rekomendasi mereka
segera dibahas secara luas supaya sebuah modus baru dapat diterapkan di
seluruh Gereja,” tulisnya.
Gagasan lain yang disampaikan Pastor John adalah perlunya mengakhiri model
Gereja monarkis dimana segala kuasa terletak di dalam tangan kaum
tertahbis dan menjadi sebuah Gereja Sinodal-Konsilia, dimana semua
perangkat pastoral pada segala tingkatannya tidak lagi bersifat
konsultatif melulu, tapi punya wewenang legislatif.
Ia juga berpendapat, adalah sebuah
keharusan memisahkan kuasa legislatif, eksekutif dan yudikatif yang
sejak zaman feodal diletakkan ke dalam tangan uskup.
Model demikian yang ia sebut
aristokratis, yang ditiru oleh sebagian pastor paroki yang menjerat
Gereja dalam skandal-skandal berkepanjangan, karena tak ada transparansi
atau kontrol.
Di bagian lain artikelnya, ia menyarankan agar para uskup dan pastor paroki mesti memiliki masa jabatan.
“Katakanlah masa lima tahun yang boleh diperpanjang sekali saja, seperti pejabat-pejabat publik kita.
Usulan berikutnya, sebaiknya umur pensiun seorang uskup diturunkan dari 75 tahun menjadi 65 tahun.
“Dalam Gereja Anglikan, uskup-uskup
pensiunan kembali ke tugas semula, entah di bidang pastoral, entah
sebagai dosen di universitas,” katanya.
Praktek demikian, kata dia, sudah
berlangsung lama juga dalam Gereja Katolik, yakni di dalam tarekat
religius, di mana salah satu konfrater dipilih sebagai rektor,
provinsial atau pemimpin umum dan seusai masa jabatannya, ia kembali
menjadi anggota biasa.
Pastor John juga menyampaikan usulan yang
menjadi perdebatan panjang dalam Gereja Katolik, yakni terkait peluang
menahbiskan orang yang berkeluarga.
Menurut dia, hidup selibat tanpa komunitas pendukung tidaklah manusiawi.
“Menerima hidup selibat hanya sebagai
bagian dari paket imamat, jauh berbeda dari memilih hidup berkaul secara
sadar dan sukarela,” katanya.
Di akhir artikelnya, ia mengatakan, sebaiknya semua sekolah menengah bagi calon imam ditutup.
Boleh saja, kata dia, ada keuskupan yang
merasa perlu mempertahankan asrama bagi siswa-siswa yang sudah
memikirkan kemungkinan menjadi imam, asal para siswa itu mengikuti
pelajaran dalam sekolah yang “normal.”
“Maksudnya supaya pada masa pubernya, para siswa bergaul dengan teman-teman perempuan
dan laki-laki. Dengan harapan pula, agar separuh dari para guru adalah
perempuan, karena hidup selibat menuntut pendewasaan psikososial,”
tulisnya.
Majalah Hidup/Indonesia.ucanews.com/Floresa
Di Balik Pengunduruan Diri Mgr Hubert Leteng
Oleh: ROBERT BALA
Dalam sebuah postingan akun Fabebook (FB) dengan nama akun “Putera
Manggarai”, membuat status: “Masih adakah orang yang bersedia jadi Uskup
Ruteng?” Sebuah pertanyaan yang cukup mengundang komentar.Pemberi status, menjawabi tidak sedikit pertanyaan, mengingatkan bahwa sejak berdirinya tahun 1962, sudah ada 4 uskup Ruteng; 3 di antaranya: Mgr Van Bekkum, Mgr Vitalis Jebarus, dan kini Mgr Hubert Leteng, berhenti sebelum masa jabatan selesai atau mengundurkan diri.
Sedangkan karena alasan kematian hanya Mgr Eduardus Sangsun.
Advertisement
Kenyataan itu sekilas memberi kesan bahwa siapapun yang menjadi
uskup, ‘diprediksikan’ akan ‘mengundurkan diri’. Hal ini juga memberi
kesan bahwa semua uskup yang ada adalah ‘orang terbaik’. Tetapi mereka
berhadapan dengan sebuah struktur (masyarakat Manggarai) yang tak
kondusif. Bisa juga ada kesan, seakan dalam lingkup Keuskupan Ruteng
selalu ada pihak-pihak yang selalu merongrong kewibawaan uskup sehingga
siapapun yang menjabat pasti mengundurkan diri.Masyarakat Kritis
Peristiwa yang terjadi di Ruteng belum ada preseden sebelumnya. Belum pernah seorang uskup yang atas desakan umat, kemudian menghentikan Uskup di tengah jalan. Segala sesuatu biasanya kembali pada penegasan bahwa ‘semuanya tergantung dari Roma’.
Pada sisi lain, ditinjau dari segi kerugian yang mencapai Rp 1,6 miliar tentu tidak bisa dijadikan alasan tunggal. Uang itu besar untuk orang miskin di Manggarai, tetapi jumlah itu ‘tidak seberapa’ untuk harus mengadakan sebuah perombakan struktural dalam sebuah keuskupan.
Masalahnya, malversasi atau penyalahgunaan keuangan yang awalnya tentu kecil yang telah diingatkan secara internal dalam keuskupan tidak cukup mendapatkan tanggapan berarti. Dan ketika jumlah yang raib semakin berarti, tidak muncul sebuah keterbukaan melainkan menghadirkan figur anonim yaitu ‘si boy’ yang kuliah penerbangan ke AS (di mana di AS) sebagai tumbal.
Hal itu kemudian menjadi runyam dengan hadirnya Yustina Sako yang dengan beberapa nama samaran terlibat dalam perkawinan, tanpa prosedur hukum Gereja yang sewajarnya. Hal itu belum terhitung penegasan tentang status Yustina sebagai ‘anak angkat’ yang sebenarnya dalam tradisi Manggarai tidak ada (dan mungkin di bagian dunia manapun tidak ada pengangkatan ‘anak angkat’ yang sudah berusia saat itu 40-an tahun).
Akumulasi permasalahan ini pada sisi lain terjadi di sebuah wilayah bernama Manggarai. Sebuah daerah dengan tingkat pendidikan di atas rata-rata NTT. Dalam sebuah postingan FB, hampir 100 orang adalah doktor atau kandidat doktor dari Manggarai. Budaya menyekolahkan anak lewat pesta sekolah merupakan kebiasaan yang menempatkan pendidikan di atas segalanya.
Artinya, secara umum, Manggarai akan menjadi simbol dari masyarakat dengan kesadaran madaniah yang cukup tinggi. Dengan tingkat pendidikan, mereka tidak mudah terkecoh dengan sekedar kamuflase. Apa yang tidak betul akan terus dikorek dan tidak akan berhenti sampai masalahnya terumbar.
Pada saat bersamaan, protes dan pengunduruan diri puluhan imam dari posisi strategis di Keuskupan Ruteng adalah pembenaran bahwa aneka isu di atas bukan isapan jempol. Pilihan itu terasa lebih elegan ketimbang meminta uskup mengundurkan diri meskipun sasaran akhir barangkali sama.
Dalam konteks yang terjadi, penyelewengan (atau kekeliruan yang terjadi) berhadapan dengan sebuah masyarakat kritis seperti Manggarai. Di satu pihak, tentu aneka proses yang telah dilewati tidak bisa begitu saja disinyalir sebagai upaya ‘mengobrak-abrik gereja’, tetapi sebuah upaya membangun kesadaran tentang kesalahan manusiawi yang perlu disadari demi terus mempertahankan kekudusan gereja.
Pembelajaran
Pengunduran diri Uskup Ruteng menjadi sebauh pembelajaran, baik internal maupun eksternal(Gereja sejagat).
Secara internal, kondisi umat/masyarakat Manggarai yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi memiliki ekspektasi yang di atas rata-rata. Artinya pemimpin Gereja di masa datang tentu bukan orang yang ‘biasa-biasa saja’. Ia harus memenuhi 3 S, yakni Sanctus yaitu orang yang sungguh-sungguh kudus, bukan sekedar kelihatan kudus, Sanus yaitu sehat, baik jasmani maupun rohani, dan Sapientia, penuh kebijaksanaan.
Menjadi Uskup Ruteng adalah orang yang luar biasa karena berhadapan dengan masyarakat yang luar biasa.
Tentu saja tidak ada manusia yang perfecto. Kesempurnaan itu dibentuk, bukan dijadikan. Karena itu kerendahan hati dan keterbukaan merupakan hal yang sangat penting. Uskup menyadari bahwa ia memiliki kekuasaan yang nyaris disebut ‘tak terbatas’. Ia menjadi pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Para imam yang ada dalam dewan, sekadar konsultatif. Karena itu ia mestinya sangat rendah hati menerima masukan, memagari dirinya dengan mekanisme pengawasan yang diciptakan untuk menyelamatkan dirinya.
Secara eksternal, pengunduran diri Uskup Leteng mengangkat hal-hal substansial yang selama ini nyaris didiskusikan secara terbuka. Pertama, kekuasaan uskup hingga berumur 75 tahun. Sejak seseorang diangkat, ia harus melaksanakan fungsinya hingga pensiun. Bisa dibayangkan seorang imam yang sudah diangkat jadi uskup pada umur 40 tahun atau 50. Itu berarti ia bisa jadi uskup 35 tahun atau 25 tahun.
Sepintas kita mengatakan kekuasaan Uskup itu tidak seperti penguasa dunia dalam bidang pemerintahan. Yang dilaksanakan dalam seorang uskup adalah pelayanan tanpa pamrih hal mana benar adanya. Tetapi semakin kerap terbukti bahwa uang, kekuasaan, harta, belum terhitung godaan lainnya, juga ‘manusiawi’ dan bisa memengaruhi seorang uskup. Kita membayangkan, kalau sampai terjadi, seorang uskup dapat menjadi ‘beban’.
Yang ada, umat menderita karena tidak sedikit penyelewengan selalu dilihat ‘dari mata iman’ dengan ‘menyimpan dalam hati’.
Kenyataan ini mestinya mendorong gereja untuk ‘mereformasikan’ pemilihan Uskup. Umur 60 tahun untuk seorang calon uskup adalah yang wajar dengan asumsi ia masih akan memerintah 10 – 15 tahun. Tetapi pada sisi lain, saat itu orang memasuki usia pensiun. Sakit dan penyakit sudah mulai rajin datang. Artinya kepemimpinan dengan wilayah keuskupan yang luas harus diserahkan pada uskup yang secara logis dalam umur pegawai, memasuki usia pensiun.
Hal itu memunculkan alternatif lain untuk membatasi jabatan maksimal 10 tahun. Mestinya sudah secara terbuka untuk melihat bahwa pembatasan masa jabatan adalah hal yang perlu.
Selain itu, permasalahan dalam kesalahpengelolaan keuangan Keuskupan menyadarkan bahwa perlu adanya mekanisme kontrol yang lebih prerogatif dalam struktur kekuasaan gereja. Zaman ‘dahulu’ uskup adalah orang yang benar-benar ugahari. Ia hidup sederhana, dipenuhi semangat metanoia. Ia sungguh bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan karena tahu, uang bisa membantu tetapi juga dapat menjerat.
Kini, hal itu harus dirumuskan. Pengelolaan uang harus benar-benar melewati proses pengawasan yang ketat mengingat uang ‘tidak kenal saudara’, dan uang selalu netral. Ia bisa digunakan demi kebaikan tetapi juga bisa sebaliknya. Karena itu butuh pengawasan yang melekat. Hal ini yang mestinya dilaksanakan juga termasuk dalam konteks Keuskupan Ruteng.
Hal lain yang menjadi permenungan dalam konteks Gereja Nusa Tenggara, adalah eufori ‘Gereja Lokal’ yang diartikan secara sangat sempit. Sejak pergantian Uskup Longginus tahun 1996, selalu didengungkan bahwa yang menjadi uskup adalah ‘imam projo’. Hal itu merupakan terjemahan dari kemandirian Gereja Lokal. Sejak saat itu, semua Uskup di wilayah Nusa Tenggara adalah dari imam projo seperti Mgr Longginus (1996), Mgr Benyamin Bria (2000), Mgr Frans Kopong (2002), Mgr Vincen Poto Sola (2005), Mgr Domi Saku (2007), Mgr Silvester San (2009) dan Mgr Hubert Leteng (2010).
Euforia di atas menyebabkan proses seleksi uskup baru hanya para imam projo. Di sini proses seleksi menjadi sangat terbatas. Hal itu berbeda ketika proses seleksi masih terbuka juga untuk para imam dari serikat, hal mana masih terjadi di Provinsi Gerejani lainnya di Indonesia. Di sana pengangkatan uskup dari serikat masih saja terjadi, dalam proses seleksi yang ketat baik antara imam projo maupun imam serikat.
Hal ini mesti jadi satu permenungan untuk Provinsi Gerejawi Nusa Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan calon Uskup Ruteng nanti. Terpikir, ketika seleksi itu berjalan lebih luas mencakup projo dan serikat, kita membayangkan banyak calon uskup bisa datang dari serikat.
Terbayang Ordo OFM yang telah lama bermisi di Gereja Manggari telah menyumbang uskup berkualitas yang berkarya di daerah lain. Calon uskup dari SVD juga mestinya masih terbuka. Minimal sebelum uskup terakhir SVD Mgr Cherubim Parera menyelesaikan masa pengabdian, ada penggantinya dari SVD.
Yang terakhir, pengunduraun diri Uskup Leteng mestinya tidak menjadikan Manggarai begitu ‘menakutkan’ bagi calon uskup nanti. Sebaliknya, tantangan ini bisa dikonversi sebagai peluang menghasilkan pemimpin gereja yang sungguh-sungguh membumi, sebagai hasil transformasi kepemimpinan tidak saja di Manggarai tetapi juga di Gereja Indonesia dan Gereja Dunia.
Penulis adalah diploma Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian Facultad Sciencia Politicia Universidad Complutense de Madrid Spanyol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar