Hak atas fotoMAZUR/CATHOLICNEWS.ORG.UKImage caption
Perubahan dalam kependudukan membuat ribuan murid Muslim memilih belajar di sekolah-sekolah Katolik.
Lebih dari 26.000 bocah Muslim terdaftar di sekolah-sekolah Katolik di Inggris dan Wales.
Untuk pertama kalinya sebuah sensus tahunan di sekolah-sekolah
Katolik mengumpulkan informasi mengenai jumlah siswa dari agama-agama
lain.
Kelompok terbesar murid-murid non-Katolik berasal dari
'cabang' agama Kristen lainnya, namun hampir sepersepuluhnya berasal
dari keluarga-keluarga Muslim.
Pemerintah berencana untuk mendorong lebih banyak lagi sekolah-sekolah Katolik gratis yang dibuka.
Analisis ini menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, hampir
sepertiga dari lebih 850.000 murid dalam sistem sekolah Katolik tidak
beragama Katolik - dari total hampir 290.000 siswa. Mengubah populasi
Hal
ini dapat mencerminkan perubahan demografi setempat dan migrasi -
banyak sekolah Katolik melayani daerah yang mengalami penurunan jumlah
keluarga-keluarga beragama Katolik.
Murid-murid Muslim merupakan
kelompok non-Kristen terbesar, selain 63.000 siswa yang berasal dari
keluarga-keluarga yang tidak beragama. Hak atas fotoiStockImage caption
Para siswa Muslim di sekolah-sekolah Katolik bisa
saja tidak menghadiri acara-acara keagamaan, namun mereka ingin turut
serta, tutur seorang kepala sekolah.
Finnuala Nelis, pimpinan St Patrick Catholic
Voluntary Academy di Sheffield, mengepalai sebuah sekolah yang setengah
dari murid-muridnya bukan penganut Katolik.
Ia mengatakan telah
terjadi perubahan pada populasi setempat - dan dewasa ini para orang tua
terkenal lebih memilih sekolah Katolik, meskipun mereka bukan Katolik.
Ini termasuk orang-orang beragama Kristen dari sejumlah gereja Afrika dan juga siswa-siswi Muslim.
Ia
mengatakan ada siswa-siswa Muslim yang beribadah di mesjid-mesjid
setempat secara teratur, yang menghadiri layanan keagamaan Katolik di
sekolah. Berbicara dengan para orang tua
Para
orang tua dari siswa-siswa Muslim berhak untuk menarik anak-anak mereka
agar tidak mengikuti perayaan keagamaan di sekolah, kata Nelis, tetapi
mereka justru ingin anak-anak mereka ikut berpartisipasi.
"Ini bukan sebuah zona yang tidak nyaman" untuk berbicara tentang hal ini dengan para siswa atau orang tua, katanya. Image caption
Sekolah-sekolah Muslim tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan jumlah pemeluk agamanya.
Para orang tua Muslim juga bisa meminta agar
anak-anak mereka libur dari sekolah pada hari-hari raya Muslim, seperti
Idul Fitri.
Ia mengatakan bahwa para orang tua non-Katolik
memilih sekolah karena etos dan 'sistem nilai.' serta reputasi sekolah
Katolik untuk 'standar pendidikan yang baik.'
Pemerintah ingin mengubah aturan bagi sekolah gratis untuk mendorong lebih banyak lagi sekolah-sekolah Katolik yang dibuka.
Pemerintah
menganggap sekolah-sekolah Katolik menggabungkan keragaman etnis dengan
standar yang tinggi. Di sekolah dasar Katolik, 37% siswa berasal dari
etnis minoritas, lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Tapi, muncul kritik bahwa memperluas sekolah agama akan mendorong segregasi sosial.
Daya
tarik dari sekolah-sekolah Katolik untuk para keluarga Muslim mungkin
juga mencerminkan fakta bahwa sekolah-sekolah Muslim sangat sedikit
jumlahnya.
Di antara lebih dari 6.800 sekolah agama dalam sistem sekolah negeri, hanya ada 28 sekolah Muslim.
Paul
Barber, Direktur Dinas Pendidikan Katolik, mengatakan sekolah-sekolah
Katolik merupakan "lentera keragaman dan integrasi atas turun naiknya
negara.
Floresa.co – Pastor John
Mansford Prior SVD, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,
Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengusulkan agar Tahta Suci mengakhiri
tradisi merahasiakan kasus-kasus moral yang melibatkan para uskup dan
imam.
Dalam artikelnya di Majalah Mingguan Hidup, misionaris
kelahiran Inggris yang sudah 40 tahun berkarya di Flores itu
mengatakan, “proses penyelidikan kasus moral atau kasus pidana di
kalangan klerus harus terbuka.”
“Semestinya kalau ada tuduhan yang
beralasan, uskup atau pastor bersangkutan langsung dinonaktifkan, tentu
dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tak bersalah, lantas
diadakan proses pemeriksaan dan pengadilan yang serba transparan, sama
seperti dalam negara,” tulis Pastor John.
Ia mengatakan, “kita harus bersikap dan
bertindak adil terhadap uskup atau pastor yang dituduh, juga adil
terhadap umat yang dililiti gosip yang berleleran.”
Advertisement
“Jika Tahta Suci memaksa seorang uskup menarik diri, hasil pemeriksaanserta pengadilan atas uskup itu harus diumumkan secara resmi,” tegasnya.
Tulisan berjudul “Hasta Harapan” itu terbit dalam Mingguan Hidup edisi 29 Oktober 2017 yang secara khusus mengulas soal kasus pengunduran diri Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Pr.
Vatikan menerima pengunduran diri Uskup
Leteng pada 11 Oktober setelah sebelumnya melakukan investigas terkait
tudingan adanya penggelapan dana Gereja senilai lebih dari Rp 1,6 miliar
dan isu terkait hubungan gelapnya dengan seorang perempuan.
Dalam pengumuman resminya, Vatikan tidak
menjelaskan alasan pengunduran diri Uskup Leteng, yang kemudian diganti
oleh Mgr Silvester San sebagai administrator apostolik hingga
penunjukkan uskup yang baru.
Pastor John dalam opininya tidak menyebut
eksplisit kasus Uskup Leteng. Namun, di bagian awal artikelnya, ia
mengungkapkan kegundahannya terkait perubahan drastis kehidupan kaum
klerus.
“Sekarang gaya hidup mewah bergandengan dengan pelanggaran hidup selibat, menjadi isu dan gosip di banyak tempat,” katanya.
Imam, kata dia, berlagak bagai pejabat dan tidak lagi berbaur dengan rekan-rekan umat di ladang Tuhan.
“Tampaknya, kalau satu kaul dilanggar, kaul lain melonggar,” tulisnya.
“Gelagatnya, dosa para pejabat publik telah merasuk masuk ke dalam kalangan para klerus,” lanjut Pastor John.
Ia mengatakan, tentu saja masih banyak imam yang hidup sederhana berkat kemampuannya melebur dengan umat awam yang sahaja.
“Sayangnya standar hidup sebagian para
klerus sudah jauh di atas standar hidup kebanyakan umat awam yang mereka
layani,” katanya.
Di wilayah NTT, urainya, umat awam paling
kurang semakin diperas, selain lewat iuran paroki, juga rupa-rupa
kolekte dan stipendium sakramen yang melangit.
Pastor John menyebut, adalah celaka karena sakramen-sakramen yang dianugerahkan Tuhan dengan cuma-cuma kini diperjualbelikan.
Ia menyebut, tahun ini, yang bertepatan
dengan 500 tahun Reformasi Protestan mesti disadari sebagai peringatan
bagi Gereja, bahwa skandal ‘jual beli rahmat’ itu yang memicu perpecahan
Katolik dan Protestan.
Perubahan Mekanisme Pemilihan Uskup
Dalam artikel itu, ia juga menyinggung soal perlunya perubahan mekanisme dalam penunjukkan uskup.
Mendukung langkah terbaru Paus Fransiskusyang
secara terbuka meminta para pastor, anggota tarekat-tarekat religius
serta umat awam se-Keuskupan Roma merekomendasikan kandidat-kandidat
untuk jabatan Vikaris Jenderal yang de facto bertindak sebagai Uskup
Roma, kata dia, hal itu kiranya perlu diterapkan di seluruh dunia.
“Kalau ini sudah terjadi di Roma, timbul pertanyaan, kapan Tahta Suci akan meluncurkanmodel
serupa bagi seluruh Gereja seputar pengangkatan uskup melalu konsultasi
terbuka dengan dewan imam, dewan pastoral keuskupan serta dewan
pastoral paroki,” tulisnya.
Menurut dia, tentu ada bahaya bahwa
konsultasi terbuka bisa dipolitisir. Tetapi, lanjutnya, siapa bisa
memastikan bahwa proses yang terjadi selama ini, yang juga dirwanai
lobi-lobi di balik layar, lebih baik.
Ia menjelaskan, Dewan Sembilan Kardinal
yang berkonsultasi dengan Paus setiap tiga bulan pernah membahas
kemungkinan supaya prosedur pemilihan, pengangkatan dan pengunduran diri
seorang uskup diatur melalui proses yang lebih terbuka.
“Kiranya rekomendasi -rekomendasi mereka
segera dibahas secara luas supaya sebuah modus baru dapat diterapkan di
seluruh Gereja,” tulisnya.
Gagasan lain yang disampaikan Pastor John adalah perlunya mengakhirimodel
Gereja monarkis dimana segala kuasa terletak di dalam tangan kaum
tertahbis dan menjadi sebuah Gereja Sinodal-Konsilia, dimana semua
perangkat pastoral pada segala tingkatannya tidak lagi bersifat
konsultatif melulu, tapi punya wewenang legislatif.
Ia juga berpendapat, adalah sebuah
keharusan memisahkan kuasa legislatif, eksekutif dan yudikatif yang
sejak zaman feodal diletakkan ke dalam tangan uskup.
Model demikian yang ia sebut
aristokratis, yang ditiru oleh sebagian pastor paroki yang menjerat
Gereja dalam skandal-skandal berkepanjangan, karena tak ada transparansi
atau kontrol.
Di bagian lain artikelnya, ia menyarankan agar para uskup dan pastor paroki mesti memiliki masa jabatan.
“Katakanlah masa lima tahun yang boleh diperpanjang sekali saja, seperti pejabat-pejabat publik kita.
Usulan berikutnya, sebaiknya umur pensiun seorang uskup diturunkan dari 75 tahun menjadi 65 tahun.
“Dalam Gereja Anglikan, uskup-uskup
pensiunan kembali ke tugas semula, entah di bidang pastoral, entah
sebagai dosen di universitas,” katanya.
Praktek demikian, kata dia, sudah
berlangsung lama juga dalam Gereja Katolik, yakni di dalam tarekat
religius, di mana salah satu konfrater dipilih sebagai rektor,
provinsial atau pemimpin umum dan seusai masa jabatannya, ia kembali
menjadi anggota biasa.
Pastor John juga menyampaikan usulan yang
menjadi perdebatan panjang dalam Gereja Katolik, yakni terkait peluang
menahbiskan orang yang berkeluarga.
Menurut dia, hidup selibat tanpa komunitas pendukung tidaklah manusiawi.
“Menerima hidup selibat hanya sebagai
bagian dari paket imamat, jauh berbeda dari memilih hidup berkaul secara
sadar dan sukarela,” katanya.
Di akhir artikelnya, ia mengatakan, sebaiknya semua sekolah menengah bagi calon imam ditutup.
Boleh saja, kata dia, ada keuskupan yang
merasa perlu mempertahankan asrama bagi siswa-siswa yang sudah
memikirkan kemungkinan menjadi imam, asal para siswa itu mengikuti
pelajaran dalam sekolah yang “normal.”
“Maksudnya supaya pada masa pubernya, para siswa bergauldengan teman-temanperempuan
dan laki-laki. Dengan harapan pula, agar separuh dari para guru adalah
perempuan, karena hidup selibat menuntut pendewasaan psikososial,”
tulisnya.
Mgr Hubertus Leteng Pr. (Foto: Katedralruteng.com)
Oleh: ROBERT BALA
Dalam sebuah postingan akun Fabebook (FB) dengan nama akun “Putera
Manggarai”, membuat status: “Masih adakah orang yang bersedia jadi Uskup
Ruteng?” Sebuah pertanyaan yang cukup mengundang komentar.
Pemberi status, menjawabi tidak sedikit pertanyaan, mengingatkan
bahwa sejak berdirinya tahun 1962, sudah ada 4 uskup Ruteng; 3 di
antaranya: Mgr Van Bekkum, Mgr Vitalis Jebarus, dan kini Mgr Hubert
Leteng, berhenti sebelum masa jabatan selesai atau mengundurkan diri.
Sedangkan karena alasan kematian hanya Mgr Eduardus Sangsun.
Advertisement
Kenyataan itu sekilas memberi kesan bahwa siapapun yang menjadi
uskup, ‘diprediksikan’ akan ‘mengundurkan diri’. Hal ini juga memberi
kesan bahwa semua uskup yang ada adalah ‘orang terbaik’. Tetapi mereka
berhadapan dengan sebuah struktur (masyarakat Manggarai) yang tak
kondusif. Bisa juga ada kesan, seakan dalam lingkup Keuskupan Ruteng
selalu ada pihak-pihak yang selalu merongrong kewibawaan uskup sehingga
siapapun yang menjabat pasti mengundurkan diri. Masyarakat Kritis
Peristiwa yang terjadi di Ruteng belum ada preseden sebelumnya. Belum
pernah seorang uskup yang atas desakan umat, kemudian menghentikan
Uskup di tengah jalan. Segala sesuatu biasanya kembali pada penegasan
bahwa ‘semuanya tergantung dari Roma’.
Pada sisi lain, ditinjau dari segi kerugian yang mencapai Rp 1,6
miliar tentu tidak bisa dijadikan alasan tunggal. Uang itu besar untuk
orang miskin di Manggarai, tetapi jumlah itu ‘tidak seberapa’ untuk
harus mengadakan sebuah perombakan struktural dalam sebuah keuskupan.
Masalahnya, malversasi atau penyalahgunaan keuangan yang awalnya
tentu kecil yang telah diingatkan secara internal dalam keuskupan tidak
cukup mendapatkan tanggapan berarti. Dan ketika jumlah yang raib semakin
berarti, tidak muncul sebuah keterbukaan melainkan menghadirkan figur
anonim yaitu ‘si boy’ yang kuliah penerbangan ke AS (di mana di AS)
sebagai tumbal.
Hal itu kemudian menjadi runyam dengan hadirnya Yustina Sako yang
dengan beberapa nama samaran terlibat dalam perkawinan, tanpa prosedur
hukum Gereja yang sewajarnya. Hal itu belum terhitung penegasan tentang
status Yustina sebagai ‘anak angkat’ yang sebenarnya dalam tradisi
Manggarai tidak ada (dan mungkin di bagian dunia manapun tidak ada
pengangkatan ‘anak angkat’ yang sudah berusia saat itu 40-an tahun).
Akumulasi permasalahan ini pada sisi lain terjadi di sebuah wilayah
bernama Manggarai. Sebuah daerah dengan tingkat pendidikan di atas
rata-rata NTT. Dalam sebuah postingan FB, hampir 100 orang adalah doktor
atau kandidat doktor dari Manggarai. Budaya menyekolahkan anak lewat
pesta sekolah merupakan kebiasaan yang menempatkan pendidikan di atas
segalanya.
Artinya, secara umum, Manggarai akan menjadi simbol dari masyarakat
dengan kesadaran madaniah yang cukup tinggi. Dengan tingkat pendidikan,
mereka tidak mudah terkecoh dengan sekedar kamuflase. Apa yang tidak
betul akan terus dikorek dan tidak akan berhenti sampai masalahnya
terumbar.
Pada saat bersamaan, protes dan pengunduruan diri puluhan imam dari
posisi strategis di Keuskupan Ruteng adalah pembenaran bahwa aneka isu
di atas bukan isapan jempol. Pilihan itu terasa lebih elegan ketimbang
meminta uskup mengundurkan diri meskipun sasaran akhir barangkali sama.
Dalam konteks yang terjadi, penyelewengan (atau kekeliruan yang
terjadi) berhadapan dengan sebuah masyarakat kritis seperti Manggarai.
Di satu pihak, tentu aneka proses yang telah dilewati tidak bisa begitu
saja disinyalir sebagai upaya ‘mengobrak-abrik gereja’, tetapi sebuah
upaya membangun kesadaran tentang kesalahan manusiawi yang perlu
disadari demi terus mempertahankan kekudusan gereja. Pembelajaran
Pengunduran diri Uskup Ruteng menjadi sebauh pembelajaran, baik internal maupun eksternal(Gereja sejagat).
Secara internal, kondisi umat/masyarakat Manggarai yang memiliki
tingkat pendidikan yang cukup tinggi memiliki ekspektasi yang di atas
rata-rata. Artinya pemimpin Gereja di masa datang tentu bukan orang yang
‘biasa-biasa saja’. Ia harus memenuhi 3 S, yakni Sanctus yaitu orang yang sungguh-sungguh kudus, bukan sekedar kelihatan kudus, Sanus yaitu sehat, baik jasmani maupun rohani, dan Sapientia, penuh kebijaksanaan.
Menjadi Uskup Ruteng adalah orang yang luar biasa karena berhadapan dengan masyarakat yang luar biasa.
Tentu saja tidak ada manusia yang perfecto. Kesempurnaan itu
dibentuk, bukan dijadikan. Karena itu kerendahan hati dan keterbukaan
merupakan hal yang sangat penting. Uskup menyadari bahwa ia memiliki
kekuasaan yang nyaris disebut ‘tak terbatas’. Ia menjadi pemegang
kekuasaan legislatif dan eksekutif. Para imam yang ada dalam dewan,
sekadar konsultatif. Karena itu ia mestinya sangat rendah hati menerima
masukan, memagari dirinya dengan mekanisme pengawasan yang diciptakan
untuk menyelamatkan dirinya.
Secara eksternal, pengunduran diri Uskup Leteng mengangkat hal-hal
substansial yang selama ini nyaris didiskusikan secara terbuka. Pertama,
kekuasaan uskup hingga berumur 75 tahun. Sejak seseorang diangkat, ia
harus melaksanakan fungsinya hingga pensiun. Bisa dibayangkan seorang
imam yang sudah diangkat jadi uskup pada umur 40 tahun atau 50. Itu
berarti ia bisa jadi uskup 35 tahun atau 25 tahun.
Sepintas kita mengatakan kekuasaan Uskup itu tidak seperti penguasa
dunia dalam bidang pemerintahan. Yang dilaksanakan dalam seorang uskup
adalah pelayanan tanpa pamrih hal mana benar adanya. Tetapi semakin
kerap terbukti bahwa uang, kekuasaan, harta, belum terhitung godaan
lainnya, juga ‘manusiawi’ dan bisa memengaruhi seorang uskup. Kita
membayangkan, kalau sampai terjadi, seorang uskup dapat menjadi ‘beban’.
Yang ada, umat menderita karena tidak sedikit penyelewengan selalu dilihat ‘dari mata iman’ dengan ‘menyimpan dalam hati’.
Kenyataan ini mestinya mendorong gereja untuk ‘mereformasikan’
pemilihan Uskup. Umur 60 tahun untuk seorang calon uskup adalah yang
wajar dengan asumsi ia masih akan memerintah 10 – 15 tahun. Tetapi pada
sisi lain, saat itu orang memasuki usia pensiun. Sakit dan penyakit
sudah mulai rajin datang. Artinya kepemimpinan dengan wilayah keuskupan
yang luas harus diserahkan pada uskup yang secara logis dalam umur
pegawai, memasuki usia pensiun.
Hal itu memunculkan alternatif lain untuk membatasi jabatan maksimal
10 tahun. Mestinya sudah secara terbuka untuk melihat bahwa pembatasan
masa jabatan adalah hal yang perlu.
Selain itu, permasalahan dalam kesalahpengelolaan keuangan Keuskupan
menyadarkan bahwa perlu adanya mekanisme kontrol yang lebih prerogatif
dalam struktur kekuasaan gereja. Zaman ‘dahulu’ uskup adalah orang yang
benar-benar ugahari. Ia hidup sederhana, dipenuhi semangat metanoia. Ia
sungguh bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan karena tahu, uang
bisa membantu tetapi juga dapat menjerat.
Kini, hal itu harus dirumuskan. Pengelolaan uang harus benar-benar
melewati proses pengawasan yang ketat mengingat uang ‘tidak kenal
saudara’, dan uang selalu netral. Ia bisa digunakan demi kebaikan tetapi
juga bisa sebaliknya. Karena itu butuh pengawasan yang melekat. Hal ini
yang mestinya dilaksanakan juga termasuk dalam konteks Keuskupan
Ruteng.
Hal lain yang menjadi permenungan dalam konteks Gereja Nusa Tenggara,
adalah eufori ‘Gereja Lokal’ yang diartikan secara sangat sempit. Sejak
pergantian Uskup Longginus tahun 1996, selalu didengungkan bahwa yang
menjadi uskup adalah ‘imam projo’. Hal itu merupakan terjemahan dari
kemandirian Gereja Lokal. Sejak saat itu, semua Uskup di wilayah Nusa
Tenggara adalah dari imam projo seperti Mgr Longginus (1996), Mgr
Benyamin Bria (2000), Mgr Frans Kopong (2002), Mgr Vincen Poto Sola
(2005), Mgr Domi Saku (2007), Mgr Silvester San (2009) dan Mgr Hubert
Leteng (2010).
Euforia di atas menyebabkan proses seleksi uskup baru hanya para imam
projo. Di sini proses seleksi menjadi sangat terbatas. Hal itu berbeda
ketika proses seleksi masih terbuka juga untuk para imam dari serikat,
hal mana masih terjadi di Provinsi Gerejani lainnya di Indonesia. Di
sana pengangkatan uskup dari serikat masih saja terjadi, dalam proses
seleksi yang ketat baik antara imam projo maupun imam serikat.
Hal ini mesti jadi satu permenungan untuk Provinsi Gerejawi Nusa
Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan calon Uskup Ruteng nanti.
Terpikir, ketika seleksi itu berjalan lebih luas mencakup projo dan
serikat, kita membayangkan banyak calon uskup bisa datang dari serikat.
Terbayang Ordo OFM yang telah lama bermisi di Gereja Manggari telah
menyumbang uskup berkualitas yang berkarya di daerah lain. Calon uskup
dari SVD juga mestinya masih terbuka. Minimal sebelum uskup terakhir SVD
Mgr Cherubim Parera menyelesaikan masa pengabdian, ada penggantinya
dari SVD.
Yang terakhir, pengunduraun diri Uskup Leteng mestinya tidak
menjadikan Manggarai begitu ‘menakutkan’ bagi calon uskup nanti.
Sebaliknya, tantangan ini bisa dikonversi sebagai peluang menghasilkan
pemimpin gereja yang sungguh-sungguh membumi, sebagai hasil transformasi
kepemimpinan tidak saja di Manggarai tetapi juga di Gereja Indonesia
dan Gereja Dunia. Penulis adalah diploma Resolusi Konflik
dan Penjagaan Perdamaian Facultad Sciencia Politicia Universidad
Complutense de Madrid Spanyol.
Floresa.co – Mgr Silvester San, Uskup Keuskupan
Denpasar telah diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng
bersamaan dengan pengunduran diri Mgr Hubert Leteng pada, Rabu, 11
Oktober 2017 lalu.
Kehadiran Uskup kelahiran Mauponggo-Nagekeo, Flores ini diharapkan
dapat membawa semangat baru dalam diri imam, biarawan-biarawati dan
seluruh umat di Keuskupan yang terletak di pulau Flores bagian barat
itu.
Mgr Silvester San sendiri dalam surat gembalanya mengajak agar
seluruh imam, biarawan-biarawati dan seluruh umat untuk saling memaafkan
dan saling meneguhkan. Karena baginya, selalu ada rahmat dan pelajaran
yang baik di balik semua peristiwa.
Ia juga mengajak agar seluruh imam, biarawan-biarawati dan seluruh
umat untuk terus berjalan bersama, dalam bimbingan Tuhan Yesus sang
Gembala Agung.
Advertisement
Berikut isi lengkap surat gembala Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng Mgr Silvester San yang disalin ulang Floresa.co:
***
“Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas
kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus
Yesus” (1Kor 1:4). Para imam, biarawan/ti, umat beriman yang dikasihi Tuhan! Terinspirasi dengan kata-kata rasul Paulus di atas, kami, Mgr
Silvester San, Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng, mau menyapa
dengan penuh kasih seluruh umat Keuskupan Ruteng dan mengajak, agar kita
selalu melambungkan madah syukur kepada Tuhan atas kasih setia-Nya yang
berlimpah dalam kehidupan Gereja lokal kita ini. Dalam segala suka duka perjuangan hidup ini, dalam naik turun
gelombang perjalanan iman kita di tanah Nucalale ini, Kristus selalu
setia menuntun kita dengan kekuatan cinta-Nya. Dia adalah Kepala Gereja.
Dia sendirilah gembala hidup kita (bdk. Yoh 10,11). Karena itu bersama pemazmur kita dapat berseru dengan penuh
keyakinan, “Tuhanlah gembalaku, aku takkan berkekurangan. Ia
membaringkan daku di padang rumput yang hijau, ia membimbing aku ke air
yang tenang dan menyegarkan jiwaku” (Mzm 33:1-2). Pada hari Rabu, 11 Oktober 2017, Bapa Suci, Paus Fransiskus telah
menerima pengunduran diri Mgr Hubertus Leteng dari jabatan sebagai
Uskup Ruteng dan secara resmi mengangkat kami sebagai Administrator
Apostolik selama takta lowong. Kami ingin berjalan bersama seluruh umat,
imam, biarawan-biarawati dalam tugas pelayanan ini. Kami, dari hati
yang dalam menyampaikan maaf kepada seluruh umat, imam dan biarawan/wati
atas gelombang badai yang telah melanda Gereja lokal Keuskupan Ruteng
akhir-akhir ini. Kita semua juga diajak untuk saling memaafkan dan saling
meneguhkan. Kami yakin selalu ada rahmat dan pelajaran yang baik di
balik semua peristiwa. Karena itu mari kita terus berjalan bersama,
dalam bimbingan Tuhan Yesus sang Gembala Agung kita. Dalam tuntunan-Nya, kita hendaknya meyakini kata-kata santo
Paulus dalam bacaan kedua hari Minggu ini: “Segala perkara dapat
kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:13). Dengan
keyakinan tersebut, marilah kita menapaki ziarah iman di tanah Manggarai
Raya ini dalam semangat persaudaraan, perdamaian, dan kebenaran. Yang lalu biarkanlah berlalu. Marilah kita menatap ke depan dan
bersama-sama bergandengan tangan membangun kehidupan Gereja lokal kita
yang semakin teguh dalam iman, bersatu dalam persaudaraan dan berbela
rasa dengan yang lemah dan menderita. Para imam, biarawan/wati, umat beriman yang dikasihi Tuhan! Dalam tahun 2017 ini, Gereja lokal Keuskupan Ruteng memusatkan
diri pada tema pewartaan sebagai implementasi Sinode III dalam tahun
kedua. Kita ingin membaharui kembali semangat misionaris agar dapat
berjalan bersama-sama dengan Yesus, dari kampung ke kampung, dari kota
ke kota, untuk mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah (Luk 8:1). Kita ingin membangun kebiasaan membaca, merenungkan dan
mensyeringkan Kitab Suci, agar Sabda Allah sungguh-sungguh menerangi dan
membimbing hidup kita. Kita bertekad untuk memperjuangkan agar
nilai-nilai injili seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, solidaritas
dan kesejahteraan umum semakin meresapi kehidupan bersama baik dalam
Gereja maupun masyarakat. Marilah kita bersama-sama membangun kehidupan Gereja Keuskupan
Ruteng dalam kasih setia Allah dan kekuatan rahmat-Nya. Semoga Bunda
Maria menolong kita dan menuntun Gereja lokal keuskupan Ruteng kepada
Yesus, Sang Sabda Ilahi, agar selalu bergema madah ini dalam hidup kita:
“Firman-Mu pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105). Akhirnya, kami mengajak kita sekalian untuk tetap mendoakan Bapa
Uskup Emeritus, Mgr Hubertus Leteng agar beliau selalu dilindungi oleh
Tuhan untuk ziarah hidup selanjutnya. Kita berterimakasih untuk
pengabdiannya selama kurang lebih tujuh tahun sebagai Uskup Ruteng.
Kiranya Kasih Tuhan tetap melimpah atasnya dan atas kita semua sehingga
kita beroleh sukacita dalam damai-Nya.
Hubertus Leteng (BBC/Bishops' Conference of Indonesia)
Vatican City - Media-media internasional tengah menyoroti
pengunduran diri seorang uskup Indonesia terkait skandal tuduhan
menggelapkan dana gereja. Tudingan itu telah dibantah Uskup Ruteng,
Flores, Nusa Tenggara Timur yang bernama Hubertus Leteng tersebut.
Sejumlah media internasional seperti BBC, AFP, Seattle Times
dan sebagainya melansir pernyataan otoritas Vatikan pada 11 Oktober
2017 yang menyatakan Paus Fransiskus telah menerima permohonan
pengunduran diri Uskup Hubertus.
"Paus Fransiskus telah menerima
pengunduran diri dari penanganan pastoral pada Keuskupan Ruteng,
Indonesia, yang diajukan oleh Hubertus Leteng," demikian pernyataan
resmi Kantor Paus Fransiskus dalam situsnya.
Dengan mundurnya Uskup Hubertus, posisinya akan digantikan sementara
oleh Uskup Denpasar, Sylvester San, sembari menunggu penunjukan yang
baru. Vatikan tidak membahas lebih rinci soal kasus yang menjerat Uskup
Hubertus.
Namun sejumlah media seperti BBC dan AFP,
seperti dikutip pada Kamis (12/10/2017), menyebut Uskup Hubertus
dituding oleh sejumlah pastur di wilayahnya, bahwa dia menjalin hubungan
intim dengan seorang wanita dan menggelapkan dana gereja sebesar US$
124 ribu (Rp 1,6 miliar).
Dilaporkan BBC bahwa Uskup
Hubertus sebelumnya telah membantah semua tuduhan itu. Namun dia tidak
menjelaskan alasannya mengajukan pengunduran diri kepada Paus
Fransiskus.
Dengan diterimanya pengunduran diri ini, Uskup
Hubertus berhenti pada usia 58 tahun, yang berarti 17 tahun lebih awal
dari usia pensiun untuk seorang Uskup.
Sebelumnya pada Juni lalu, seperti dilansir AFP,
total 69 pastur di Indonesia telah mengundurkan diri sebagai bentuk
protes atas perilaku Uskup Hubertus. Hal ini membuat Vatikan melakukan
penyelidikan terhadap tudingan-tudingan yang dijeratkan kepada Uskup
Hubertus. Tudingan yang dimaksud adalah diam-diam meminjam dana US$ 94
ribu dari Konferensi Uskup Indonesia dan mengambil dana US$ 30 ribu dari
keuskupan tanpa mendaftarkan transaksinya.
Saat itu, menurut BBC,
Uskup Hubertus menegaskan dana yang diambilnya digunakan untuk mendidik
kaum muda yang miskin. Soal tudingan dirinya menjalin hubungan dengan
seorang wanita, Uskup Hubertus menyebut hal itu 'fitnah'.
Kesaksian Sipri Palus Tentang Aliran Uang Uskup Hubert Leteng
Ruteng, Vox NTT– Sipri Palus adalah eks
Pastor Keuskupan Ruteng. Ia mengetahui banyak hal seputar hubungan
khusus Uskup Hubert Leteng dengan anak angkatnya, Sayang Decinta Devada
Panjaitan atau biasa disapa Sayang.
Ia tahu hubungan tersebut karena pernah tinggal bersama
anak angkat Uskup Huber itu selama empat bulan di rumah kontrakannya di
Jalan Kububias, Nomor 14 Denpasar. Rumah itu dikontrak oleh Uskup Huber
dengan harga sewa Rp. 59.000.000/tahun.
Keberadaannya di Bali bermula ketika ia ditugaskan Uskup
Huber untuk menjaga Sayang karena, katanya anak angkat Uskup Huber itu
mendapat ancaman pembunuhan dari seorang eks pastor.
Kepada VoxNtt.com Minggu (2/7/2017) Sipri Palus menjelaskan
semua kesaksiannya selama berada di Bali, termasuk aliran uang Uskup
Huber ke anak angkatnya, Sayang Decinta dan keluarganya di Kefa-Atambua.
“Anak angkatnya Bapa Uskup itu sering minta uang dan selalu
saja Bapa Uskup penuhi. Pernah dalam beberapa kesempatan, anaknya
meminta uang tapi saldo rekening Bapa Uskup kurang. Sebab itu, Bapa
Uskup dicaci maki dan diancam,” terang Palus.
“Kalau uang tidak dikirim, puterinya mengancam akan putus
hubungan dan tidak boleh menghubungi puterinya lagi. Sering dalam
keadaan seperti itu, Bapa uskup menjawab; ole….jangan begitukah,
sabar…uang dapat dengan mudah dicari, yang penting enu baik-baik saja,”
ujarnya menirukan Uskup Huber.
Karena itu, Uskup Huber tak segan-segan meminta pinjaman
orang. Segera setelah mendapat pinjaman, Uskup Huber langsung
mentransfernya ke rekening anak angkatnya itu.
Sipri Palus juga mengungkapkan anak angkat itu gemar
membongkar isi tas Uskup Huber tiap kali Uskup Huber tiba di Bali.
Tujuannya satu yakni mengambil uang yang dikumpulkan Uskup Huber dari
pelayanannya di Keuskupan Ruteng. Uang-uang itu digunakan untuk shoping,
bergonta-ganti perhiasan (emas) dengan harga jutaan rupiah dan membeli
pakaian-pakaian mewah
Pernah juga saat berada di Bali, kata Palus, Uskup Huber
melakukan sendiri penarikan uang di Bank BNI. Jumlahnya bervariasi;
Rp.50.000.000 kemudian Rp.100.000.000 dan pernah juga Rp.150.000.000.
“Selanjutnya, uang-uang tersebut dimasukan ke rekening anak
angkat Bapa Uskup atas nama Citra Denada Panjaitan (Bank BRI), Sayang
Decinta Devada Panjaitan (Bank BNI dan Bank Mandiri). Jadi, ada tiga
rekening dengan dua nama berbeda,” jelasnya.
Parahnya lagi, kata Palus, anak angkat Uskup Huber sampai
pernah menyuruhnya untuk mengecek uang yang masuk ke rekening Uskup
Huber. Jika ada uang masuk langsung ditransfer lagi ke rekening anak
angkatnya itu.
“Ada yang merupakan bantuan untuk sebuah panti asuhan dan
ada juga uang stipendium dan itensi dari orang-orang tertentu. Tapi
dikemudian hari, uang-uang tersebut akan ditransfer ke rekening anak
Bapa Uskup,” ujarnya.
Tak berhenti di situ, ujar Palus, ia juga pernah
menyaksikan anak angkat itu meminta uang Rp. 20.000.000 kepada Uskup
Huber. Permintaan itu pun dipenuhi Uskup Huber, sehingga uang Rp.
20.000.000 itu ditransfer ke rekening anak angkat itu.
Uang sebesar itu digunakan untuk membeli peralatan
olahraga. Padahal, saat itu anak angkat Uskup Huber itu mengeluh sakit
perut, katanya karena hamil.
“Ternyata sebenarnya harga peralatan (olahraga) tersebut hanya 5 juta,” tukasnya.
Selain untuk anak angkatnya, terang Palus, uang Uskup Huber
juga mengalir ke keluarga anak angkatnya di Kefa-Atambua. Uang tersebut
ditransfer dari rekening Uskup Huber ke rekening keluarga anak
angkatnya atas nama Maria Keke (Bank BRI dengan nomor rekening
4665-01-005936-53-1). Transaksi itu menggunakan ATM BNI milik Uskup
Huber dengan nomor PIN saat itu 258013.
“Kemudian, transaksi tersebut berubah tidak langsung dari
rekening Bapa Uskup tetapi melalui rekening saya (Siprianus Palus BRI
Cabang Ruteng nomor rekening 0273-01-014272-50-5) baru kemudian
ditransfer ke rekening Ibu Maria Keke, dengan alasan takut dicurigai
oleh pihak Keuskupan,” jelasnya.
(Berdasarkan rekening koran atas nama Sipri Palus yang
diprint out pada 28/8/2015, pukul 10:54:14 yang diterima VoxNtt.com
tercatat; pada periode Juli 2014, terjadi lima kali transaksi dari
rekening Sipri Palus ke rekening Maria Keke yakni tanggal 4,7,10,12 dan
13. Tiap kali transaksi sebesar Rp. 5.000.000. Jadi, total lima kali
transaksi tersebut Rp. 25.000.000).
Selain minta uang, lanjut Palus, anak angkat Uskup Huber
itu juga merengek minta rumah. Permintaan itu pun dipenuhi Uskup Huber.
Untuk itu, Uskup Huber mengeluarkan uang sebesar Rp. 250.000.000 untuk
membayar uang muka kredit.
Kredit itu diajukan melalui Bank BNI tapi prosesnya gagal.
Kegagalan itu terjadi karena pihak penjamin kredit yaitu Titus (adik
kandung Uskup Huber) menolak membuat surat keterangan.
Ia menolak karena dalam surat keterangan itu dinyatakan
bahwa rumah yang dikredit itu adalah milik anak angkat Uskup Huber
sedangkan Titus hanya sebagai penjamin kredit. Artinya, jika cicilan
kredit tersebut lunas, maka rumah tersebut menjadi milik anak angkat
Uskup.
“Karena itu, Uskup Huber dan anaknya itu merasa dirugikan
oleh keputusan Bapak Titus. Maka sejak saat itu, Uskup dan anaknya benci
dan dendam dengan Bapak Titus. Bahkan, anak Bapa Uskup itu berani
mengeluarkan kata-kata kotor dan kutukan buat Bapak Titus sekeluarga,”
jelas Palus.
Karena proses kredit melalui Bank BNI gagal, mereka
akhirnya beralih mengajukan kredit ke Bank Mandiri sebesar Rp.
1.000.000.000. Kredit sebesar itu bermaksud untuk membeli rumah seharga
Rp. 1.500.000.000. Sebagai jaminan usulan kredit tersebut, yakni Surat
Izin Usaha (SIU) 2 toko milik anak angkat Uskup Huber yang berlokasi di
Ruteng dan Labuan Bajo.
Namun, pihak Bank Mandiri menyatakan jaminan kedua toko tersebut tidak cukup untuk mengabulkan kredit sebesar Rp. 1.000.000.000.
Sementara, Uskup Huber sudah menyerahkan uang sebesar Rp.
500.000.000 sebagai uang muka kredit. Karena takut uang muka tersebut
hangus lagi, maka Uskup Huber dan anak angkatnya bersekongkol dengan
pemilik rumah (Mantan Pegawai Bank Mandiri) membuat data jaminan palsu.
“Seolah-olah anak angkat Uskup Huber memiliki tempat
praktek dokter ahli kandungan di Karang Anyar Bali dengan pendapatan per
bulan 70 juta rupiah, Surat izin buka usaha, izin Lurah, daftar pasien
yang berobat, papan pengumuman praktek, semuanya dibuat dan dipalsukan.
Kredit tersebut pun diloloskan pihak bank. Jangka waktu kredit selama 15
tahun (180 bulan) dengan cicilan per bulan 12 jutaan lebih,” terang
Palus.
Sementara, hingga berita ini diturunkan, Uskup Hubertus Leteng belum memberi konfirmasi, meski sudah dihubungi melalui telepon. (Ferdiano Sutarto Parman/VoN).
Mgr Hubertus Leteng Pr. (Foto: Katedralruteng.com)
Floresa.co – Rabu, 11 Oktober 2017 menjadi hari terakhir bagi Mgr Hubertus Leteng Pr memegang kendali Keuskupan Ruteng.
Ia resmi diganti oleh Uskup Denpasar, Mgr
Silvester San Pr yang menjadi Administrator Apostolik, sambil menanti
Vatikan menunjuk uskup yang baru.
Uskup berusia 58 tahun ini pensiun 17 tahun lebih awal dari yang seharusnya, di di usia 75 tahun, sesuai hukum Gereja.
Permintaan pengunduran diri Uskup Leteng
dikabulkan Paus Fransiskus, Selasa, 10 Oktober, setelah selama sekitar 4
bulan terakhir polemik terkait uskup ini ramai dibicarakan.
Advertisement
Lantas, bagaimana statusnya saat ini dan di mana ia akan bertugas?
Romo Marthen Cen, Ketua Pusat Pastoral
Keuskupan Ruteng mengatakan, meski sudah mengundurkan diri dari jabatan
Uskup Ruteng, namun, Uskup Letengtetap akan menjalankan tugas imamatnya seperti biasa.
“Dia tetap menjadi uskup, hanya uskup emeritus. Dengan kata lain dia sudah pensiun dini,” ujarnya kepada Floresa.co, Rabu malam, 11 Oktober.
“Kalau dia pensiun kan, tidak ada tugas (sebagai uskup), tetapi untuk tugas sebagai imam tetap ia jalankan,” katanya.
Sementara itu, Rm Agustinus Manfred
Habur, sekertaris uskup mengatakan, terkait tempat tugas Uskup Leteng
yang baru merupakan urusan Vatikan.
Yang pasti, kata dia, mengutip pejabat Vatikan, “dia tidak boleh di Ruteng, Denpasar dan Jakarta.”
“Dalam tempo 10 hari, dia diberi waktu berkemas. Tentang kemana (ia akan dipindahkan), rahasia Vatikan,” katanya.
Ferdinand Ambo/ARL/Floresa
Mulai Hari Ini, Keuskupan Ruteng Dipimpin Mgr Silvester San Pr
Floresa.co – Bersamaan dengan pengumuman pengunduran
diri Mgr Hubertus Leteng Pr, mulai hari ini Rabu, 11 Oktober 2017,
Keuskupan Ruteng akan dipimpin oleh Mgr Silvester San Pr, yang juga
Uskup Denpasar Bali.
Penetapan Mgr Sil diumumkan secara resmi oleh Tahta Suci melalui Pastor Fabio Salerno, perwakilan Tahta Suci.
Mgr. Silvester San lahir di Mauponggo, Nagekeo pada tanggal 11
Juli 1961. Ia adalah anak laki-laki ketiga dari sembilan bersaudara,
dari pasangan Roben Robo (ayah) dan Katharina No’o Nore (ibu).
Ia menyelesaikan pendidikan di SDK Maukeli, Seminari Menengah St.
Yohanes Berkmans Todabelu Mataloko Ngada (SMP-SMA), Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere dan ditahbiskan menjadi imam
diosesan Keuskupan Agung Ende pada tanggal 29 Juli 1988 oleh
Mgr. Donatus Djagom, S.V.D., Uskup Agung Ende waktu itu.
Surat penunjukkan Mgr Silvester San Pr. (Foto: dok)
Advertisement
Mgr. San diangkat oleh Paus Benediktus XVI menjadi Uskup Denpasar dan
diumumkan oleh Tahta Suci Vatikan pada tanggal 22 November 2008.
Ia ditahbiskan menjadi Uskup pada 19 Februari 2009 di Gereja Katedral
Roh Kudus Denpasar, dengan Penahbis Utama Mgr. Vincentius Sensi
Potokota, Uskup Agung Ende.
Ini Arahan Tahta Suci untuk Para Imam Pasca Pengunduran Diri Uskup Leteng
Situasi saat pembacaan putusan terkait pengunduran diri Mgr Hubertus Leteng Pr pada Rabu, 11 Oktober 2017. (Foto: dok)
Floresa.co – Paus
Fransiskus secara resmi menerima pengunduran diri Mgr Hubertus Leteng
dari jabatan sebagai pemimpin pastoral di Keuskupan Ruteng pada Rabu, 11
Agustus 2017.
Tahta Suci juga secara resmi mengangkat
Uskup Denpasar, Mgr Silvester San, sebagai Administrator Apostolik untuk
menjalankan tugas dan wewenang sebagai uskup di wilayah keuskupan itu,
sambil uskup baru terpilih.
Pastor Fabio Salerno, pelaksana tugas ad
interim dari Kedutaan Besar Vatikan di Indonesia, dalam siaran pers yang
dirilis Keuskupan Ruteng menyampaikan pesan penting untuk para imam.
Ia mengajak mereka agar dapat “bekerja
sama dengan Administrator Apostolik, menunjukkan kesediaan, rasa
tanggung jawab, dan semangat persaudaraan imamat.”
Advertisement
Dia juga meminta mereka untuk
mengembangkan persatuan, kerukunan, dan keharmonisan umat Allah, agar
umat Allah dapat mengalami sukacita dan damai Tuhan. (FRD/ARL/Floresa)
Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng Pr usai bertemu dengan sejumlah pastor, Senin 12 Juni 2017 malam (Foto: Ronald Tarsan/Floresa)
Floresa.co – Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Pr secara resmi mengundurkan diri pada hari ini, Rabu, 11 Oktober 2017.
Keputusan ini disampaikan dalam surat resmi dari Sekertariat Keuskupan.
Keputusan ini, menurut surat tersebut, diumumkan setelah Paus Fransiskus menerima surat pengunduran diri Uskup Leteng.
Dalam surat itu, juga dijelaskan bahwa kini Keuskupan Ruteng akan
dipimpin oleh Administrator Apostolik, Mgr Silvester San, yang juga
Uskup Denpasar.
Advertisement
Rm Manfred Habur, Sekertaris Keuskupan memastikan kebenaran isi pengumuman itu.
“(Ini) sah dari Sekertariat Keuskupan Ruteng,” katanya Rabu sore.
Uskup Leteng memang terlibat skandal, terkait penggelapan uang lebih
dari Rp 1 miliar dan dugaan rahasia dengan seorang perempuan.
Kasus ini membuat puluhan imam pada Juni lalu mengundurkan diri dari
sejumlah jabatan strategis. Vatikan pun bereaksi dengan mengutus
Visitator Apostolik pada Agustus lalu, yaitu Uskup Bandung, Mgr Antonius
Bunjamin Subianto. ARL/Floresa
Penjelasan Keuskupan Ruteng soal Uskup yang Disorot Media Asing
Hubertus Leteng. (BBC/Bishops' Conference of Indonesia)
Jakarta - Pengunduran diri seorang uskup Indonesia, tepatnya
uskup Ruteng, jadi sorotan media internasional. Pihak Keuskupan Ruteng
akan segera bicara soal pengunduran diri yang masih berselubung misteri
itu.
Pihak Keuskupan Ruteng yang dihubungi detikcom
siang ini, Kamis (12/10/2017) sekitar pukul 13.30 WIB, memberi
penjelasan soal pengunduran diri Hubertus. Hal-hal lain terkait
pengunduran diri itu baru akan dijelaskan sore nanti.
Terkait
pengunduran diri Hubertus, Keuskupan Ruteng menjelaskan pemimpin
tertinggi umat Katolik, Paus Fransiskus, sudah menunjuk penjabat
sementara. Dia adalah Mgr Silvestes San, yang saat ini masih bertugas
sebagai Uskup Denpasar.
Hak atas fotoBISHOPS' CONFERENCE OF INDONESIAImage caption
Di usianya yang menginjak 58 tahun, Hubertus Leteng
mengakhiri posisi keuskupannya lebih cepat 17 tahun sebelum masa
pensiunnya tiba.
Paus Fransiskus
telah menerima pengunduran diri seorang uskup Indonesia yang diduga
menjalin hubungan intim dengan seorang perempuan dan mengambil dana
gereja.
Uskup Ruteng, Hubertus Leteng, sebelumnya telah membantah melakukan apa yang dituduhkan kepadanya.
Dan
tanpa menjelaskan alasannya dia akhirnya mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai pemimpin pastoral di Keuskupan Ruteng, Rabu (11/10).
Di usianya yang menginjak 58 tahun, Leteng mengakhiri posisi keuskupannya lebih cepat 17 tahun sebelum masa pensiunnya tiba.
Sebelumnya Vatikan telah menyelidiki laporan-laporan yang
menyebutkan bahwa dirinya secara diam-diam meminjam uang sebesar US$
94.000 atau sekitar Rp 1,2 milyar dari Konferensi Waligereja Indonesia
atau KWI.
Dia juga diduga telah mengambil uang sebesar US$ 30.000 atau sekitar Rp 400 juta dari keuskupannya.
'Fitnah'
Hampir
70 pastur dilaporkan mengundurkan diri pada Juni lalu untuk memprotes
apa yang dituduhkan terhadap Leteng - mengarah ke upaya penyelidikan
oleh Vatikan.
Namun demikian, Uskup Leteng menyatakan dana tersebut digunakan untuk mendidik kaum muda yang miskin.
Dalam
laporannya pada Juni lalu, The Catholic Herald mengungkapkan bahwa
sebagian uang tersebut digunakan Leteng untuk membiayai seorang pemuda
dari keluarga miskin yang tengah sekolah pilot di Amerika Serikat.
Leteng juga mengatakan bahwa tuduhan dirinya memiliki hubungan intim dengan seorang perempuan merupakan "fitnah".
Sejauh ini Vatikan belum menjelaskan kenapa uskup tersebut memilih pensiun dini.
Keuskupan
Ruteng juga tidak menyebutkan tuduhan terhadap Leteng saat mengumumkan
pengunduran diri Leteng serta penggantinya pada Rabu (11/10).
Meski Mundur, Uskup Indonesia Harus Kembalikan Uang Gereja Rp 1,6 M
Jakarta - Monsinyur (Mgr) Hubertus Leteng, pemimpin Keuskupan
Ruteng di Nusa Tenggara Timur, diminta agar mengembalikan dana gereja
sebesar Rp 1,6 miliar yang diduga diselewengkannya untuk kepentingan
pribadi.
Permintaan itu muncul meskipun Paus Fransiskus sebagai
pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma sudah menerima pengunduran diri
Hubertus dari jabatan uskup, Rabu (11/10).
Kewajiban pengembalian
dana gereja itu diutarakan Romo Robert Pelita, yang sejak Juni lalu
bersama 68 pastor lain mendesak agar Hubertus meletakkan jabatan.
Robert mendasarkan ucapannya pada pernyataan perwakilan Vatikan yang datang ke Ruteng pekan ini.
"Ada
penegasan dari utusan Vatikan. Prinsipnya uang itu harus dikembalikan,"
kata Robert yang berstatus wakil Keuskupan Ruteng di Labuan Bajo,
kepada BBC Indonesia.
Namun, kata Robert, utusan Vatikan tidak
memberikan jangka waktu pengembalian uang kepada Hubertus. "Hanya
ditegaskan bahwa uang harus dikembalikan, entah berapa lama," ujarnya.
Ketua
Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Ignatius Suharyo,
enggan memaparkan duduk perkara di balik pengunduran diri Hubertus. Ia
juga mengaku tidak mengetahui tindak lanjut Vatikan atas dugaan
penyelewengan dana oleh Hubertus.
"Ini adalah urusan rahasia
antara pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma dan yang mereka utus untuk
memverifivikasi perkara itu. Yang seperti itu, kami-kami ini tidak
tahu," kata Ignatius.
Saat berita ini diturunkan, BBC Indonesia
telah berulang kali menghubungi Hubertus sebagai upaya konfirmasi namun
dia tidak mengangkat telepon yang telah tersambung. Ketua Presidium KWI, Ignatius Suharyo, menyebut pengunduran diri Hubertus Leteng hanya diketahui Vatikan. (ROMEO GACAD/AFP)
Sementara
itu, Kabid Humas Polda Nusa Tenggara Timur, Kombes Julies Abraham
Abast, menyebut lembaganya belum menerima aduan apapun terkait dugaan
penyelewengan dana gereja tersebut.
Sebelum Keuskupan Ruteng
melaporkan dugaan itu, kata Julies, kepolisian menganggap isu tersebut
tidak valid dan merupakan urusan internal gereja.
"Sejauh ini
tidak ada indikasi perbuatan pidana dan keuskupan juga tidak melaporkan
kepada kami. Kalau ada aduan, kami pasti akan menindaklanjuti,"
tuturnya.
'Gejolak umat'
Romo Robert Pelita menuturkan, isu
Hubertus mengambil dana gereja tanpa izin telah berkembang sejak 2014
setelah sekelompok imam dan umat menduga Hubertus mengambil Rp1,25
miliar dari common funds milik KWI dan sekitar 425 juta dari kas
Keuskupan Ruteng.
"Keuskupan sesungguhnya sudah punya statuta
mengatur keuangan. Selama ini, itu semua dilangkahi Monsinyur Hubertus,"
ujar Robert.
Hubertus, kata Robert, sudah pernah
mempertanggungjawabkan nominal uang yang hilang itu kepada Dewan Imam
dan Dewan Konsul. Pada forum itu, Hubertus mengaku menggunakan uang
tersebut untuk membiayai pendidikan seorang remaja ke akademi
penerbangan di Amerika Serikat.
"Tapi nama anak, keluarga anak, dan sekolah disebutnya dengan inisial. Dia bilang anak itu dari keluarga miskin," ujar Robert.
"Apakah pengakuan itu betul, masih disangsikan. Kesangsian yang lahir dari pernyataan dia yang menggunakan inisial."
Nusa Tenggara Timur memiliki tradisi Katolik yang mengakar, terutama di
daerah Larantuka yang terkenal dengan prosesi peringatan kematian Yesus
Kristus. (Ulet Ifansasti/Getty Images)
Lebih dari itu, Robert
berharap pengunduran diri Hubertus tidak memicu gejolak baru di antara
para pastor maupun komunitas umat Katolik di kabupaten itu.
Sekretaris
Jenderal Keuskupan Ruteng, Romo Munfred Huber menyebut institusinya
akan mengadakan pertemuan dengan para pastor di daerah itu pada 20
Oktober mendatang. Ia berkata, para imam memegang peran vital untuk
menjaga hubungan baik antara pemeluk Katolik di Ruteng.
"Imam
diminta untuk menyejukkan umat dan memupuk persaudaraan agar semua tetap
bersatu. Semuanya akan didekati melalui para imam," ucap Munfred.
Adapun,
Ketua Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia cabang Ruteng,
Upartus Agat, meminta keuskupan memberikan klarifikasi atas beragam isu
negatif yang mengiringi pengunduran diri Hubertus.
"Keputusan
uskup mundur menguatkan opini yang selama ini berkembang bahwa dia
melakukan penggelapan. Dari kemarin, sejak dikeluarkan berita
pengunduran diri, belum ada konfirmasi soal itu," kata Upartus.
Keuskupan Ruteng berada di bawah Keuskupan Agung Ende, bersama
Keuskupan Larantuka, Maumere, dan Denpasar. (Ulet Ifansasti/Getty
Images)
Publikasi pengunduran diri Uskup Hubertus muncul pada pengumuman
Vatikan tanggal 11 Oktober kemarin. Dalam surat itu, Vatikan menyebut
Paus Benediktus telah menunjuk Mgr Sylvester San untuk menggantikan
posisi Hubertus di Ruteng. Sebelumnya, Syvester berstatus sebagai Uskup
Denpasar.
Gereja Katolik Roma memiliki 37 keuskupan di seluruh
Indonesia, terdiri dari 10 provinsi gerejawi dan satu ordinariat
militer. Merujuk penuturan Mgr Ignatius Suharyo, penunjukan uskup
ditentukan oleh Paus di Vatikan.
Keuskupan Ruteng masuk dalam wilayah administratif Keuskupan Agung Ende, bersama Denpasar, Larantuka, dan Maumere. Hubertus Leteng mengaku menggunakan dana gereja untuk menyekolahkan seorang remaja. (Ulet Ifansasti/Getty Images Ilustrasi)
Seperti
tertuang dalam struktur kepengurusan KWI, Selain menjabat Uskup Agung
Ruteng, Mgr Hubertus Leteng juga memegang jabatan Delegatus Karya
Kesehatan Katolik di organisasi itu.
Terkait tertutupnya gereja
soal pengunduran diri Hubertus, Ignatius Suharyo menyebut kepentingan
umat Katolik sebagai salah satu pertimbangan.
"Semuanya demi
kebaikan. Gereja tidak mau merugikan nama baik siapapun, sehingga dibuat
sangat rahasia, tidak seperti politik yang melengserkan atau memfitnah.
Itu bukan cara gereja menghadapi masalah," ujarnya.
Mantan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Mendapat Tugas Baru di Keuskupan Bandung
facebook/beny jaya
Uskup
Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng sedang memimpin misa di lokasi mata air
Wae Poong Waso Ruteng, Kamis (6/4/2017), dalam rangka hari air sedunia,
22 Maret 2017.
POS-KUPANG.COM - Mgr. Hubertus Leteng, Pr telah dipindahtugaskan ke Keuskupan Bandung tanpa wilayah kekuasaan gerejawi.
Mgr. Hubertus Leteng tahun lalu mengundurkan diri dari posisinya sebagai Uskup Ruteng pasca munculnya tuduhan dari para imamnya sendiri bahwa ia menggelapkan dana Gereja dan berselingkuh dengan seorang perempuan.
Penugasan baru untuk Mgr. Hubertus Leteng ini memicu kritik di kalangan imam dan umat awam.
Romo Siprianus Hormat, sekretaris eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengonfirmasi kepada ucanews.com pada 9 Desember perihal penugasan baru ini.
“Uskup Bandung yang menyertai semua proses selama ini diberi wewenang
untuk memberikan beliau kesempatan melayani paroki dalam status penuh
sebagai uskup, tapi tanpa tongkat,” kata Romo Sipri.
Dengan status tanpa tongkat berarti ia tidak memiliki wilayah kekuasaan gerejawi.
Ia menjelaskan, sejak pengunduran dirinya pada Oktober tahun lalu,
Uskup Bandung, Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC yang menyelidiki
kasusnya telah didelegasikan oleh Vatikan untuk mengawasinya.
Uskup Leteng mengundurkan diri setelah 69 imam di Keuskupan Ruteng
menyerahkan surat pengunduran diri sebagai bentuk protes terhadapnya
karena ia diduga secara diam-diam meminjam dana Rp 1,25 miliar dari KWI
dan Rp 400 juta dari Keuskuapn Ruteng, tanpa memberikan laporan
pertanggungjawaban.
Uskup Leteng mengklaim uang itu digunakan untuk membiayai pendidikan
pemuda miskin yang studi pilot di Amerika Serikat, tetapi menolak
memberikan penjelasan lebih rinci terkait pemuda itu.
Para imam menduga uang itu diberikan kepada seorang wanita yang
mereka duga sebagai selingkuhannya. Tudingan perselingkuhan ini awalnya
muncul pada tahun 2014, yang diungkap oleh salah seorang mantan pastor.
Uskup Leteng berkali-kali menolak tudingan terhadapnya dan menyebut bahwa itu merupakan fitnah.
Pada bulan Agustus, Vatikan menunjuk Uskup Subianto untuk menyelidiki
kasus tersebut, yang berujung pada pengunduran diri Uskup Leteng.
Vatikan tidak memberikan alasan pengunduran dirinya. Namun, sejumlah
imam yang ikut dalam pertemuan dengan delegasi Vatikan kala itu
mengatakan, Uskup Leteng diminta untuk mengembalikan uang yang
diambilnya dan memutuskan hubungan dengan wanita yang dituding sebagai
selingkuhannya.
Pastor Kletus Hekong, dosen Hukum Gereja di Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik (STFK) Ledalero, Maumere mengatakan, penugasan kembali Uskup
Leteng adalah wewenang Vatikan.
Ia juga mengatakan, pada dasarnya, ia tetaplah uskup, karena
pengunduran dirinya hanya dari tugas pastoral Keuskupan Ruteng, bukan
dari tugas sebagai uskup dan imam.
“Uskup Bandung tahu soal layak-tidaknya (untuk diberi tugas lagi),” katanya kepada ucanews.com.
Ia juga menambahkan, semua hukuman dalam Gereja bersifat medisinal, yang berarti hukuman dicabut jika ada pertobatan.
Pertobatan itu, tambahnya, tidak harus disampaikan lewat pernyataan.
“Dari seluruh sikap dan perilakunya dapat dibaca mengenai indikasi
pertobatan itu. Bisa juga karena soal yang dituduhkan kepadanya ternyata
lain. Hanya pimpinan Gereja yang berwenang yang bisa menilainya,” jelas
Pastor Kletus.
Sementara itu, Pastor John Mansford Prior, dosen misiologi di STFK
Ledalero mengkiritisi soal pola penanganan kasus ini, di mana tidak ada
keterbukaan dari Vatikan untuk menjelaskan secara resmi apa saja masalah
yang dilakukan Uskup Leteng dan bagaimana pola penanganannya hingga
kemudian ia diberi tugas kembali.
Andai kemudian penugasan ini dianggap sebagai bagian dari upaya
mengampuni apa yang sudah dilakukan Uskup Leteng, Pastor John
mengingatkan bahwa dalam Gereja Katolik
pengampunan terhadap kesalahan adalah fase terakhir, setelah fase
pemeriksaan batin, mengaku dosa, menyatakan tidak akan mengulangi dosa
itu lagi dan menerima absolusi.
“Boleh jadi Leteng sudah memeriksa batinnya, (tapi) dia belum mengaku kesalahannya,” katanya kepada ucanews.com.
“Kalau mau mengampuni Leteng, saya orang pertama yang siap (untuk itu), tapi saya mau ampun dosanya yang mana?” tambahnya.
Ia menjelaskan, kesalahan yang dilakukan Leteng itu adalah skandal di
tengah umat, dan karena itu seharusnya gereja transparan untuk
menjelaskannya.
Sementara itu, Rikard Rahmat, salah seorang awam Katolik yang
terlibat dalam gerakan mendorong mundurnya Uskup Leteng menyebut
penugasan kembali itu kesannya tergesa-gesa, kurang
memperhitungkan sensus fidei atau perasaan iman umat, terutama umat
Keuskupan Ruteng.”
“Ini juga preseden kurang bagus bagi Gereja Indonesia, seakan-akan
skandal semacam itu bukan sebagai sesuatu yang serius, tetapi
pelanggaran yang ringan-ringan saja,” katanya.
Jashinta Hamboer, tokoh awam perempuan yang pernah menulis surat
terbuka menuntut Uskup Leteng untuk mundur mengatakan, baginya, masalah
yang dituduhkan ke Uskup Leteng adalah skandal yang sangat serius.
“Karena itu, ketika mendengar kabar penugasannya ini, saya kaget dan
bertanya-tanya, jangan-jangan masalah seperti yang dia lakukan itu sudah
dianggap sebagai hal biasa dalam Gereja,” katanya.
Ia juga mengatakan, pola penanganan kasus yang tidak transparan dan
tegas bisa melemahkan posisi gereja dalam upaya untuk melawan praktik
korupsi dan mendorong akuntabilitas serta transparansi.
“Hal demikian akan kehilangan nilainya, ketika di dalam gereja
sendiri pun masalah seperti ini tidak dianggap sebagai masalah serius,”
kata Jashinta.
Ia menambahkan, meski demikian, ia memilih untuk menghargai keputusan
Vatikan ini dan berharap, masalah yang terjadi di Keuskupan Ruteng
tidak kemudian pindah ke Keuskupan Bandung.
Sementara itu, Uskup Bandung tidak merespons permintaan ucanews.com untuk memberi penjelasan terkait hal ini. Tanggapan Netizen
Sejak ucanews melansir berita ini, sejumlah warganet memberikan tanggapan beragam. Jenny Marisa: Jika nama seorang pejabat gereja
setinggi uskup sdh dikaitkan pada suatu skandal (apapun) menurut hemat
saya jangan diwariskan ke keuskupan lain. Penanganan ya menurut
peraturan yg ada saja dlm gereja.. Selayaknya dan paling pantas adalah
beliau mengundurkan diri dari penggembalaan umat dan pensiun saja tanpa
kedudukan apapun di tempat asalnya di wisma imam jompo Jangan
dihadiahkan ke paroki manapun.. Dedi Suardi: ”Tradisi” Lama Institusi Gereja.
Seberat apapun skandal para Selibater/Imam…Cuma satu solusi… dimutasi ke
Tempat lain…. Ternyata “Institusi” Gereja sangat pandai “Mafia”.
Menyembunyikan skandal dengan cara-cara yang licik….Kalau sudah begini
realitasnya….Apa bedanya dengan Institusi yang lain….???? Fransiskus Mami:
Saya adalah seorang awam dari keuskupan Ruteng yg juga sangat menyesal
dgn skandal yg menimpa uskup Hubertus pada beberapa bulan lalu yg
berujung dgn pengunduran diri dari uskup Huber. Dalam benak kmi yg awam
kiranya pengunduran diri kemarin tu total bhwa dia keluar dari uskup
(pensiun/emeretus) tpi ternyata sekarang Vatikan kembali memberi dia
tugas sebagai uskup di Bandung tanpa tongkat saja. Yah Vatikan lebih
berkuasa dalam hal penugasan baru.
Saya sebagai awam yah ikuti saja barangkali itu yg terbaik buat uskup
Huber juga buat umat. Dengan satu harapan kalau skandal yg dituduhkan
kemarin itu benar adanya maka uskup Huber sendiri yg tau tentunya dia
bertobat dan tidak mengiulanginya lagi.
Saya cuma berharap dan berdoa agar peristiwa seperti ini jangan terjadi lagi di kalangan para uskup maupun para imam. Sumber: ucanews.com/indonesia