Jumat, 27 Oktober 2017

SEKOLAH KATOLIK

SEKOLAH KATOLIK: OBOR KEBERAGAMAN

Keluarga Muslim cenderung memasukkan anak di sekolah Katolik

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-38166171

  •  
    1 Desember 2016
Hak atas foto MAZUR/CATHOLICNEWS.ORG.UK
Image caption Perubahan dalam kependudukan membuat ribuan murid Muslim memilih belajar di sekolah-sekolah Katolik.
Lebih dari 26.000 bocah Muslim terdaftar di sekolah-sekolah Katolik di Inggris dan Wales.
Untuk pertama kalinya sebuah sensus tahunan di sekolah-sekolah Katolik mengumpulkan informasi mengenai jumlah siswa dari agama-agama lain.
Kelompok terbesar murid-murid non-Katolik berasal dari 'cabang' agama Kristen lainnya, namun hampir sepersepuluhnya berasal dari keluarga-keluarga Muslim.
Pemerintah berencana untuk mendorong lebih banyak lagi sekolah-sekolah Katolik gratis yang dibuka.
Analisis ini menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, hampir sepertiga dari lebih 850.000 murid dalam sistem sekolah Katolik tidak beragama Katolik - dari total hampir 290.000 siswa.
Mengubah populasi
Hal ini dapat mencerminkan perubahan demografi setempat dan migrasi - banyak sekolah Katolik melayani daerah yang mengalami penurunan jumlah keluarga-keluarga beragama Katolik.
Murid-murid Muslim merupakan kelompok non-Kristen terbesar, selain 63.000 siswa yang berasal dari keluarga-keluarga yang tidak beragama.
Hak atas foto iStock
Image caption Para siswa Muslim di sekolah-sekolah Katolik bisa saja tidak menghadiri acara-acara keagamaan, namun mereka ingin turut serta, tutur seorang kepala sekolah.
Finnuala Nelis, pimpinan St Patrick Catholic Voluntary Academy di Sheffield, mengepalai sebuah sekolah yang setengah dari murid-muridnya bukan penganut Katolik.
Ia mengatakan telah terjadi perubahan pada populasi setempat - dan dewasa ini para orang tua terkenal lebih memilih sekolah Katolik, meskipun mereka bukan Katolik.
Ini termasuk orang-orang beragama Kristen dari sejumlah gereja Afrika dan juga siswa-siswi Muslim.
Ia mengatakan ada siswa-siswa Muslim yang beribadah di mesjid-mesjid setempat secara teratur, yang menghadiri layanan keagamaan Katolik di sekolah.
Berbicara dengan para orang tua
Para orang tua dari siswa-siswa Muslim berhak untuk menarik anak-anak mereka agar tidak mengikuti perayaan keagamaan di sekolah, kata Nelis, tetapi mereka justru ingin anak-anak mereka ikut berpartisipasi.
"Ini bukan sebuah zona yang tidak nyaman" untuk berbicara tentang hal ini dengan para siswa atau orang tua, katanya.
Image caption Sekolah-sekolah Muslim tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan jumlah pemeluk agamanya.
Para orang tua Muslim juga bisa meminta agar anak-anak mereka libur dari sekolah pada hari-hari raya Muslim, seperti Idul Fitri.
Ia mengatakan bahwa para orang tua non-Katolik memilih sekolah karena etos dan 'sistem nilai.' serta reputasi sekolah Katolik untuk 'standar pendidikan yang baik.'
Pemerintah ingin mengubah aturan bagi sekolah gratis untuk mendorong lebih banyak lagi sekolah-sekolah Katolik yang dibuka.
Pemerintah menganggap sekolah-sekolah Katolik menggabungkan keragaman etnis dengan standar yang tinggi. Di sekolah dasar Katolik, 37% siswa berasal dari etnis minoritas, lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Tapi, muncul kritik bahwa memperluas sekolah agama akan mendorong segregasi sosial.
Daya tarik dari sekolah-sekolah Katolik untuk para keluarga Muslim mungkin juga mencerminkan fakta bahwa sekolah-sekolah Muslim sangat sedikit jumlahnya.
Di antara lebih dari 6.800 sekolah agama dalam sistem sekolah negeri, hanya ada 28 sekolah Muslim.
Paul Barber, Direktur Dinas Pendidikan Katolik, mengatakan sekolah-sekolah Katolik merupakan "lentera keragaman dan integrasi atas turun naiknya negara.

Jumat, 20 Oktober 2017

GAGASAN PEMBARUAN

GAGASAN PEMBARUAN DUNIA (GEREJA)

Pastor John Prior: Vatikan Harus Buka Hasil Penyelidikan Kasus Moral Kaum Klerus

0
110
Pastor John Mansford Prior SVD. (Foto: Ist)
Floresa.co – Pastor John Mansford Prior SVD, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengusulkan agar Tahta Suci mengakhiri tradisi merahasiakan kasus-kasus moral yang melibatkan para uskup dan imam.
Dalam artikelnya di Majalah Mingguan Hidup, misionaris kelahiran Inggris yang sudah 40 tahun berkarya di Flores itu mengatakan, “proses penyelidikan kasus moral atau kasus pidana di kalangan klerus harus terbuka.”
“Semestinya kalau ada tuduhan yang beralasan, uskup atau pastor bersangkutan langsung dinonaktifkan, tentu dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tak bersalah, lantas diadakan proses pemeriksaan dan pengadilan yang serba transparan, sama seperti dalam negara,” tulis Pastor John.
Ia mengatakan, “kita harus bersikap dan bertindak adil terhadap uskup atau pastor yang dituduh, juga adil terhadap umat yang dililiti gosip yang berleleran.”
Advertisement
“Jika Tahta Suci memaksa seorang uskup menarik diri, hasil pemeriksaan  serta pengadilan atas uskup itu harus diumumkan secara resmi,” tegasnya.
Tulisan berjudul “Hasta Harapan” itu terbit dalam Mingguan Hidup edisi 29 Oktober 2017 yang secara khusus mengulas soal kasus pengunduran diri Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Pr.
Vatikan menerima pengunduran diri Uskup Leteng pada 11 Oktober setelah sebelumnya melakukan investigas terkait tudingan adanya penggelapan dana Gereja senilai lebih dari Rp 1,6 miliar dan isu terkait hubungan gelapnya dengan seorang perempuan.
Dalam pengumuman resminya, Vatikan tidak menjelaskan alasan pengunduran diri Uskup Leteng, yang kemudian diganti oleh Mgr Silvester San sebagai administrator apostolik hingga penunjukkan uskup yang baru.
Pastor John dalam opininya tidak menyebut eksplisit kasus Uskup Leteng. Namun, di bagian awal artikelnya, ia mengungkapkan kegundahannya terkait perubahan drastis kehidupan kaum klerus.
“Sekarang gaya hidup mewah bergandengan dengan pelanggaran hidup selibat, menjadi isu dan gosip di banyak tempat,” katanya.
Imam, kata dia, berlagak bagai pejabat dan tidak lagi berbaur dengan rekan-rekan umat di ladang Tuhan.
“Tampaknya, kalau satu kaul dilanggar, kaul lain melonggar,” tulisnya.
“Gelagatnya, dosa para pejabat publik telah merasuk masuk ke dalam kalangan para klerus,” lanjut Pastor John.
Ia mengatakan, tentu saja masih banyak imam yang hidup sederhana berkat kemampuannya melebur dengan umat awam yang sahaja.
“Sayangnya standar hidup sebagian para klerus sudah jauh di atas standar hidup kebanyakan umat awam yang mereka layani,” katanya.
Di wilayah NTT, urainya, umat awam paling kurang semakin diperas, selain lewat iuran paroki, juga rupa-rupa kolekte dan stipendium sakramen yang melangit.
Pastor John menyebut, adalah celaka karena sakramen-sakramen yang dianugerahkan Tuhan dengan cuma-cuma kini diperjualbelikan.
Ia menyebut, tahun ini, yang bertepatan dengan 500 tahun Reformasi Protestan mesti disadari sebagai peringatan bagi Gereja, bahwa skandal ‘jual beli rahmat’ itu yang memicu perpecahan Katolik dan Protestan.
Perubahan Mekanisme Pemilihan Uskup
Dalam artikel itu, ia juga menyinggung soal perlunya perubahan mekanisme dalam penunjukkan uskup.
Mendukung langkah terbaru Paus Fransiskus  yang secara terbuka meminta para pastor, anggota tarekat-tarekat religius serta umat awam se-Keuskupan Roma merekomendasikan kandidat-kandidat untuk jabatan Vikaris Jenderal yang de facto bertindak sebagai Uskup Roma, kata dia, hal itu kiranya perlu diterapkan di seluruh dunia.
“Kalau ini sudah terjadi di Roma, timbul pertanyaan, kapan Tahta Suci akan meluncurkan  model serupa bagi seluruh Gereja seputar pengangkatan uskup melalu konsultasi terbuka dengan dewan imam, dewan pastoral keuskupan serta dewan pastoral paroki,” tulisnya.
Menurut dia, tentu ada bahaya bahwa konsultasi terbuka bisa dipolitisir. Tetapi, lanjutnya, siapa bisa memastikan bahwa proses yang terjadi selama ini, yang juga dirwanai lobi-lobi di balik layar, lebih baik.
Ia menjelaskan, Dewan Sembilan Kardinal yang berkonsultasi dengan Paus setiap tiga bulan pernah membahas kemungkinan supaya prosedur pemilihan, pengangkatan dan pengunduran diri seorang uskup diatur melalui proses yang lebih terbuka.
“Kiranya rekomendasi -rekomendasi mereka segera dibahas secara luas supaya sebuah modus baru dapat diterapkan di seluruh Gereja,” tulisnya.
Gagasan lain yang disampaikan Pastor John adalah perlunya mengakhiri  model Gereja monarkis dimana segala kuasa terletak di dalam tangan kaum tertahbis dan menjadi sebuah Gereja Sinodal-Konsilia, dimana semua perangkat pastoral pada segala tingkatannya tidak lagi bersifat konsultatif melulu, tapi punya wewenang legislatif.
Ia juga berpendapat, adalah sebuah keharusan memisahkan kuasa legislatif, eksekutif dan yudikatif yang sejak zaman feodal diletakkan ke dalam tangan uskup.
Model demikian yang ia sebut aristokratis, yang ditiru oleh sebagian pastor paroki yang menjerat Gereja dalam skandal-skandal berkepanjangan, karena tak ada transparansi atau kontrol.
Di bagian lain artikelnya, ia menyarankan agar para uskup dan pastor paroki mesti memiliki masa jabatan.
“Katakanlah masa lima tahun yang boleh diperpanjang sekali saja, seperti pejabat-pejabat publik kita.
Usulan berikutnya, sebaiknya umur pensiun seorang uskup diturunkan dari 75 tahun menjadi 65 tahun.
“Dalam Gereja Anglikan, uskup-uskup pensiunan kembali ke tugas semula, entah di bidang pastoral, entah sebagai dosen di universitas,” katanya.
Praktek demikian, kata dia, sudah berlangsung lama juga dalam Gereja Katolik, yakni di dalam tarekat religius, di mana salah satu konfrater dipilih sebagai rektor, provinsial atau pemimpin umum dan seusai masa jabatannya, ia kembali menjadi anggota biasa.
Pastor John juga menyampaikan usulan yang menjadi perdebatan panjang dalam Gereja Katolik, yakni terkait peluang menahbiskan orang yang berkeluarga.
Menurut dia, hidup selibat tanpa komunitas pendukung tidaklah manusiawi.
“Menerima hidup selibat hanya sebagai bagian dari paket imamat, jauh berbeda dari memilih hidup berkaul secara sadar dan sukarela,” katanya.
Di akhir artikelnya, ia mengatakan, sebaiknya semua sekolah menengah bagi calon imam ditutup.
Boleh saja, kata dia, ada keuskupan yang merasa perlu mempertahankan asrama bagi siswa-siswa yang sudah memikirkan kemungkinan menjadi imam, asal para siswa itu mengikuti pelajaran dalam sekolah yang “normal.”
“Maksudnya supaya pada masa pubernya, para siswa bergaul  dengan teman-teman  perempuan dan laki-laki. Dengan harapan pula, agar separuh dari para guru adalah perempuan, karena hidup selibat menuntut pendewasaan psikososial,” tulisnya.
Majalah Hidup/Indonesia.ucanews.com/Floresa

Di Balik Pengunduruan Diri Mgr Hubert Leteng


0
4682

Mgr Hubertus Leteng Pr. (Foto: Katedralruteng.com)
Oleh: ROBERT BALA 
Dalam sebuah postingan akun Fabebook (FB) dengan nama akun “Putera Manggarai”, membuat status: “Masih adakah orang yang bersedia jadi Uskup Ruteng?” Sebuah pertanyaan yang cukup mengundang komentar.
Pemberi status, menjawabi tidak sedikit pertanyaan, mengingatkan bahwa sejak berdirinya tahun 1962, sudah ada 4 uskup Ruteng; 3 di antaranya: Mgr Van Bekkum, Mgr Vitalis Jebarus, dan kini Mgr Hubert Leteng, berhenti sebelum masa jabatan selesai atau mengundurkan diri.
Sedangkan karena alasan kematian hanya Mgr Eduardus Sangsun.
Advertisement
Kenyataan itu sekilas memberi kesan bahwa siapapun yang menjadi uskup, ‘diprediksikan’ akan ‘mengundurkan diri’. Hal ini juga memberi kesan bahwa semua uskup yang ada adalah ‘orang terbaik’. Tetapi mereka berhadapan dengan sebuah struktur (masyarakat Manggarai) yang tak kondusif. Bisa juga ada kesan, seakan dalam lingkup Keuskupan Ruteng selalu ada pihak-pihak yang selalu merongrong kewibawaan uskup sehingga siapapun yang menjabat pasti mengundurkan diri.
Masyarakat Kritis
Peristiwa yang terjadi di Ruteng belum ada preseden sebelumnya. Belum pernah seorang uskup yang atas desakan umat, kemudian menghentikan Uskup di tengah jalan. Segala sesuatu biasanya kembali pada penegasan bahwa ‘semuanya tergantung dari Roma’.
Pada sisi lain, ditinjau dari segi kerugian yang mencapai Rp 1,6 miliar tentu tidak bisa dijadikan alasan tunggal. Uang itu besar untuk orang miskin di Manggarai, tetapi jumlah itu ‘tidak seberapa’ untuk harus mengadakan sebuah perombakan struktural dalam sebuah keuskupan.
Masalahnya, malversasi atau penyalahgunaan keuangan yang awalnya tentu kecil yang telah diingatkan secara internal dalam keuskupan tidak cukup mendapatkan tanggapan berarti. Dan ketika jumlah yang raib semakin berarti, tidak muncul sebuah keterbukaan melainkan menghadirkan figur anonim yaitu ‘si boy’ yang kuliah penerbangan ke AS (di mana di AS) sebagai tumbal.
Hal itu kemudian menjadi runyam dengan hadirnya Yustina Sako yang dengan beberapa nama samaran terlibat dalam perkawinan, tanpa prosedur hukum Gereja yang sewajarnya. Hal itu belum terhitung penegasan tentang status Yustina sebagai ‘anak angkat’ yang sebenarnya dalam tradisi Manggarai tidak ada (dan mungkin di bagian dunia manapun tidak ada pengangkatan ‘anak angkat’ yang sudah berusia saat itu 40-an tahun).
Akumulasi permasalahan ini pada sisi lain terjadi di sebuah wilayah bernama Manggarai. Sebuah daerah dengan tingkat pendidikan di atas rata-rata NTT. Dalam sebuah postingan FB, hampir 100 orang adalah doktor atau kandidat doktor dari Manggarai. Budaya menyekolahkan anak lewat pesta sekolah merupakan kebiasaan yang menempatkan pendidikan di atas segalanya.
Artinya, secara umum, Manggarai akan menjadi simbol dari masyarakat dengan kesadaran madaniah yang cukup tinggi. Dengan tingkat pendidikan, mereka tidak mudah terkecoh dengan sekedar kamuflase. Apa yang tidak betul akan terus dikorek dan tidak akan berhenti sampai masalahnya terumbar.
Pada saat bersamaan, protes  dan pengunduruan diri puluhan imam dari posisi strategis di Keuskupan Ruteng adalah pembenaran bahwa aneka isu di atas bukan isapan jempol. Pilihan itu terasa lebih elegan ketimbang meminta uskup mengundurkan diri meskipun sasaran akhir barangkali sama.
Dalam konteks yang terjadi, penyelewengan (atau kekeliruan yang terjadi) berhadapan dengan sebuah masyarakat kritis seperti Manggarai. Di satu pihak, tentu aneka proses yang telah dilewati tidak bisa begitu saja disinyalir sebagai upaya ‘mengobrak-abrik gereja’, tetapi sebuah upaya membangun kesadaran tentang kesalahan manusiawi yang perlu disadari demi terus mempertahankan kekudusan gereja.
Pembelajaran
Pengunduran diri Uskup Ruteng menjadi sebauh pembelajaran, baik internal maupun eksternal(Gereja sejagat).
Secara internal, kondisi umat/masyarakat Manggarai yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi memiliki ekspektasi yang di atas rata-rata. Artinya pemimpin Gereja di masa datang tentu bukan orang yang ‘biasa-biasa saja’. Ia harus memenuhi 3 S, yakni Sanctus yaitu orang yang sungguh-sungguh kudus, bukan sekedar kelihatan kudus, Sanus yaitu sehat, baik jasmani maupun rohani, dan Sapientia, penuh kebijaksanaan.
Menjadi Uskup Ruteng adalah orang yang luar biasa karena berhadapan dengan masyarakat yang luar biasa.
Tentu saja tidak ada manusia yang perfecto. Kesempurnaan itu dibentuk, bukan dijadikan. Karena itu kerendahan hati dan keterbukaan merupakan hal yang sangat penting. Uskup menyadari bahwa ia memiliki kekuasaan yang nyaris disebut ‘tak terbatas’. Ia menjadi pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Para imam yang ada dalam dewan, sekadar konsultatif. Karena itu ia mestinya sangat rendah hati menerima masukan, memagari dirinya dengan mekanisme pengawasan yang diciptakan untuk menyelamatkan dirinya.
Secara eksternal, pengunduran diri Uskup Leteng mengangkat hal-hal substansial yang selama ini nyaris didiskusikan secara terbuka. Pertama, kekuasaan uskup hingga berumur 75 tahun. Sejak seseorang diangkat, ia harus melaksanakan fungsinya hingga pensiun. Bisa dibayangkan seorang imam yang sudah diangkat jadi uskup pada umur 40 tahun atau 50. Itu berarti ia bisa jadi uskup 35 tahun atau 25 tahun.
Sepintas kita mengatakan kekuasaan Uskup itu tidak seperti penguasa dunia dalam bidang pemerintahan. Yang dilaksanakan dalam seorang uskup adalah pelayanan tanpa pamrih hal mana benar adanya. Tetapi semakin kerap terbukti bahwa uang, kekuasaan, harta, belum terhitung godaan lainnya, juga ‘manusiawi’ dan bisa memengaruhi seorang uskup. Kita membayangkan, kalau sampai terjadi, seorang uskup dapat menjadi ‘beban’.
Yang ada, umat menderita karena tidak sedikit penyelewengan selalu dilihat ‘dari mata iman’ dengan ‘menyimpan dalam hati’.
Kenyataan ini mestinya mendorong gereja untuk ‘mereformasikan’ pemilihan Uskup. Umur 60 tahun untuk seorang calon uskup adalah yang wajar dengan asumsi ia masih akan memerintah 10 – 15 tahun. Tetapi pada sisi lain, saat itu orang memasuki usia pensiun. Sakit dan penyakit sudah mulai rajin datang. Artinya kepemimpinan dengan wilayah keuskupan yang luas harus diserahkan pada uskup yang secara logis dalam umur pegawai, memasuki usia pensiun.
Hal itu memunculkan alternatif lain untuk membatasi jabatan maksimal 10 tahun. Mestinya sudah secara terbuka untuk melihat bahwa pembatasan masa jabatan adalah hal yang perlu.
Selain itu, permasalahan dalam kesalahpengelolaan keuangan Keuskupan menyadarkan bahwa perlu adanya mekanisme kontrol yang lebih prerogatif dalam struktur kekuasaan gereja. Zaman ‘dahulu’ uskup adalah orang yang benar-benar ugahari. Ia hidup sederhana, dipenuhi semangat metanoia. Ia sungguh bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan karena tahu, uang bisa membantu tetapi juga dapat menjerat.
Kini, hal itu harus dirumuskan. Pengelolaan uang harus benar-benar melewati proses pengawasan yang ketat mengingat uang ‘tidak kenal saudara’, dan uang selalu netral. Ia bisa digunakan demi kebaikan tetapi juga bisa sebaliknya. Karena itu butuh pengawasan yang melekat. Hal ini yang mestinya dilaksanakan juga termasuk dalam konteks Keuskupan Ruteng.
Hal lain yang menjadi permenungan dalam konteks Gereja Nusa Tenggara, adalah eufori ‘Gereja Lokal’ yang diartikan secara sangat sempit. Sejak pergantian Uskup Longginus tahun 1996, selalu didengungkan bahwa yang menjadi uskup adalah ‘imam projo’. Hal itu merupakan terjemahan dari kemandirian Gereja Lokal.  Sejak saat itu, semua Uskup di wilayah Nusa Tenggara adalah dari imam projo seperti Mgr Longginus (1996), Mgr Benyamin Bria (2000), Mgr Frans Kopong (2002), Mgr Vincen Poto Sola (2005), Mgr Domi Saku (2007), Mgr Silvester San (2009) dan Mgr Hubert Leteng (2010).
Euforia di atas menyebabkan proses seleksi uskup baru hanya para imam projo. Di sini proses seleksi menjadi sangat terbatas. Hal itu berbeda ketika proses seleksi masih terbuka juga untuk para imam dari serikat, hal mana masih terjadi di Provinsi Gerejani lainnya di Indonesia. Di sana pengangkatan uskup dari serikat masih saja terjadi, dalam proses seleksi yang ketat baik antara imam projo maupun imam serikat.
Hal ini mesti jadi satu permenungan untuk Provinsi Gerejawi Nusa Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan calon Uskup Ruteng nanti. Terpikir, ketika seleksi itu berjalan lebih luas mencakup projo dan serikat, kita membayangkan banyak calon uskup bisa datang dari serikat.
Terbayang Ordo OFM yang telah lama bermisi di Gereja Manggari telah menyumbang uskup berkualitas yang berkarya di daerah lain. Calon uskup dari SVD juga mestinya masih terbuka. Minimal sebelum uskup terakhir SVD Mgr Cherubim Parera menyelesaikan masa pengabdian, ada penggantinya dari SVD.
Yang terakhir, pengunduraun diri Uskup Leteng mestinya tidak menjadikan Manggarai begitu ‘menakutkan’ bagi calon uskup nanti. Sebaliknya, tantangan ini bisa dikonversi sebagai peluang menghasilkan pemimpin gereja yang sungguh-sungguh membumi, sebagai hasil transformasi kepemimpinan tidak saja di Manggarai tetapi juga di Gereja Indonesia dan Gereja Dunia.
Penulis adalah diploma Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian Facultad Sciencia Politicia Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

Minggu, 15 Oktober 2017

Surat Gembala Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng

Surat Gembala Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng

0
631
Mgr Silvester San Pr
Floresa.co – Mgr Silvester San, Uskup Keuskupan Denpasar telah diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng bersamaan dengan pengunduran diri Mgr Hubert Leteng pada, Rabu, 11 Oktober 2017 lalu.
Kehadiran Uskup kelahiran Mauponggo-Nagekeo, Flores ini diharapkan dapat membawa semangat baru dalam diri imam, biarawan-biarawati dan seluruh umat di Keuskupan yang terletak di pulau Flores bagian barat itu.
Mgr Silvester San sendiri dalam surat gembalanya mengajak agar seluruh imam, biarawan-biarawati dan seluruh umat untuk saling memaafkan dan saling meneguhkan. Karena baginya, selalu ada rahmat dan pelajaran yang baik di balik semua peristiwa.
Ia juga mengajak agar seluruh imam, biarawan-biarawati dan seluruh umat untuk terus berjalan bersama, dalam bimbingan Tuhan Yesus sang Gembala Agung.
Advertisement
Berikut isi lengkap surat gembala Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng Mgr Silvester San yang disalin ulang Floresa.co:
***
“Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus” (1Kor 1:4).
Para imam, biarawan/ti, umat beriman yang dikasihi Tuhan!
Terinspirasi dengan kata-kata rasul Paulus di atas, kami, Mgr Silvester San, Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng, mau menyapa dengan penuh kasih seluruh umat Keuskupan Ruteng dan mengajak, agar kita selalu melambungkan madah syukur kepada Tuhan atas kasih setia-Nya yang berlimpah dalam kehidupan Gereja lokal kita ini.
Dalam segala suka duka perjuangan hidup ini, dalam naik turun gelombang perjalanan iman kita di tanah Nucalale ini, Kristus selalu setia menuntun kita dengan kekuatan cinta-Nya. Dia adalah Kepala Gereja. Dia sendirilah gembala hidup kita (bdk. Yoh 10,11).
Karena itu bersama pemazmur kita dapat berseru dengan penuh keyakinan, “Tuhanlah gembalaku, aku takkan berkekurangan. Ia membaringkan daku di padang rumput yang hijau, ia membimbing aku ke air yang tenang dan menyegarkan jiwaku” (Mzm 33:1-2).
Pada hari Rabu, 11 Oktober 2017, Bapa Suci, Paus Fransiskus telah menerima pengunduran diri Mgr Hubertus Leteng dari jabatan sebagai Uskup Ruteng dan secara resmi mengangkat kami sebagai Administrator Apostolik selama takta lowong. Kami ingin berjalan bersama seluruh umat, imam, biarawan-biarawati dalam tugas pelayanan ini. Kami, dari hati yang dalam menyampaikan maaf kepada seluruh umat, imam dan biarawan/wati atas gelombang badai yang telah melanda Gereja lokal Keuskupan Ruteng akhir-akhir ini.
Kita semua juga diajak untuk saling memaafkan dan saling meneguhkan. Kami yakin selalu ada rahmat dan pelajaran yang baik di balik semua peristiwa. Karena itu mari kita terus berjalan bersama, dalam bimbingan Tuhan Yesus sang Gembala Agung kita.
Dalam tuntunan-Nya, kita hendaknya meyakini kata-kata santo Paulus dalam bacaan kedua hari Minggu ini: “Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:13). Dengan keyakinan tersebut, marilah kita menapaki ziarah iman di tanah Manggarai Raya ini dalam semangat persaudaraan, perdamaian, dan kebenaran.
Yang lalu biarkanlah berlalu. Marilah kita menatap ke depan dan bersama-sama bergandengan tangan membangun kehidupan Gereja lokal kita yang semakin teguh dalam iman, bersatu dalam persaudaraan dan berbela rasa dengan yang lemah dan menderita.
Para imam, biarawan/wati, umat beriman yang dikasihi Tuhan!
Dalam tahun 2017 ini, Gereja lokal Keuskupan Ruteng memusatkan diri pada tema pewartaan sebagai implementasi Sinode III dalam tahun kedua. Kita ingin membaharui kembali semangat misionaris agar dapat berjalan bersama-sama dengan Yesus, dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, untuk mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah (Luk 8:1).
Kita ingin membangun kebiasaan membaca, merenungkan dan mensyeringkan Kitab Suci, agar Sabda Allah sungguh-sungguh menerangi dan membimbing hidup kita. Kita bertekad untuk memperjuangkan agar nilai-nilai injili seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, solidaritas dan kesejahteraan umum semakin meresapi kehidupan bersama baik dalam Gereja maupun masyarakat.
Marilah kita bersama-sama membangun kehidupan Gereja Keuskupan Ruteng dalam kasih setia Allah dan kekuatan rahmat-Nya. Semoga Bunda Maria menolong kita dan menuntun Gereja lokal keuskupan Ruteng kepada Yesus, Sang Sabda Ilahi, agar selalu bergema madah ini dalam hidup kita: “Firman-Mu pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105).
Akhirnya, kami mengajak kita sekalian untuk tetap mendoakan Bapa Uskup Emeritus, Mgr Hubertus Leteng agar beliau selalu dilindungi oleh Tuhan untuk ziarah hidup selanjutnya. Kita berterimakasih untuk pengabdiannya selama kurang lebih tujuh tahun sebagai Uskup Ruteng. Kiranya Kasih Tuhan tetap melimpah atasnya dan atas kita semua sehingga kita beroleh sukacita dalam damai-Nya.
Ruteng, 13 Oktober 2017
Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng.
Mgr. Silvester San

Rabu, 11 Oktober 2017

SKANDAL USKUP RUTENG

SKANDAL USKUP RUTENG





Kamis 12 Oktober 2017, 10:28 WIB
 https://news.detik.com/internasional/d-3680681/media-asing-soroti-mundurnya-uskup-indonesia-yang-didera-skandal

Media Asing Soroti Mundurnya Uskup Indonesia yang Didera Skandal

Novi Christiastuti - detikNews
Media Asing Soroti Mundurnya Uskup Indonesia yang Didera Skandal Hubertus Leteng (BBC/Bishops' Conference of Indonesia)
Vatican City - Media-media internasional tengah menyoroti pengunduran diri seorang uskup Indonesia terkait skandal tuduhan menggelapkan dana gereja. Tudingan itu telah dibantah Uskup Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur yang bernama Hubertus Leteng tersebut.

Sejumlah media internasional seperti BBC, AFP, Seattle Times dan sebagainya melansir pernyataan otoritas Vatikan pada 11 Oktober 2017 yang menyatakan Paus Fransiskus telah menerima permohonan pengunduran diri Uskup Hubertus.

"Paus Fransiskus telah menerima pengunduran diri dari penanganan pastoral pada Keuskupan Ruteng, Indonesia, yang diajukan oleh Hubertus Leteng," demikian pernyataan resmi Kantor Paus Fransiskus dalam situsnya.

Dengan mundurnya Uskup Hubertus, posisinya akan digantikan sementara oleh Uskup Denpasar, Sylvester San, sembari menunggu penunjukan yang baru. Vatikan tidak membahas lebih rinci soal kasus yang menjerat Uskup Hubertus.

Namun sejumlah media seperti BBC dan AFP, seperti dikutip pada Kamis (12/10/2017), menyebut Uskup Hubertus dituding oleh sejumlah pastur di wilayahnya, bahwa dia menjalin hubungan intim dengan seorang wanita dan menggelapkan dana gereja sebesar US$ 124 ribu (Rp 1,6 miliar).

Dilaporkan BBC bahwa Uskup Hubertus sebelumnya telah membantah semua tuduhan itu. Namun dia tidak menjelaskan alasannya mengajukan pengunduran diri kepada Paus Fransiskus.

Dengan diterimanya pengunduran diri ini, Uskup Hubertus berhenti pada usia 58 tahun, yang berarti 17 tahun lebih awal dari usia pensiun untuk seorang Uskup.

Sebelumnya pada Juni lalu, seperti dilansir AFP, total 69 pastur di Indonesia telah mengundurkan diri sebagai bentuk protes atas perilaku Uskup Hubertus. Hal ini membuat Vatikan melakukan penyelidikan terhadap tudingan-tudingan yang dijeratkan kepada Uskup Hubertus. Tudingan yang dimaksud adalah diam-diam meminjam dana US$ 94 ribu dari Konferensi Uskup Indonesia dan mengambil dana US$ 30 ribu dari keuskupan tanpa mendaftarkan transaksinya.

Saat itu, menurut BBC, Uskup Hubertus menegaskan dana yang diambilnya digunakan untuk mendidik kaum muda yang miskin. Soal tudingan dirinya menjalin hubungan dengan seorang wanita, Uskup Hubertus menyebut hal itu 'fitnah'.


Kesaksian Sipri Palus Tentang Aliran Uang Uskup Hubert Leteng

Ruteng, Vox NTT– Sipri Palus adalah eks Pastor Keuskupan Ruteng. Ia mengetahui banyak hal seputar hubungan khusus Uskup Hubert Leteng dengan anak angkatnya, Sayang Decinta Devada Panjaitan atau biasa disapa Sayang.
Ia tahu hubungan tersebut karena pernah tinggal bersama anak angkat Uskup Huber itu selama empat bulan di rumah kontrakannya di Jalan Kububias, Nomor 14 Denpasar. Rumah itu dikontrak oleh Uskup Huber dengan harga sewa Rp. 59.000.000/tahun.
Keberadaannya di Bali bermula ketika ia ditugaskan Uskup Huber  untuk menjaga Sayang karena, katanya anak angkat Uskup Huber itu mendapat ancaman pembunuhan dari seorang eks pastor.
Kepada VoxNtt.com Minggu (2/7/2017) Sipri Palus menjelaskan semua kesaksiannya selama berada di Bali, termasuk aliran uang Uskup Huber ke anak angkatnya, Sayang Decinta dan keluarganya di Kefa-Atambua.
“Anak angkatnya Bapa Uskup itu sering minta uang dan selalu saja Bapa Uskup penuhi. Pernah dalam beberapa kesempatan, anaknya meminta uang tapi saldo rekening Bapa Uskup kurang. Sebab itu, Bapa Uskup dicaci maki dan diancam,” terang Palus.
“Kalau uang tidak dikirim, puterinya mengancam akan putus hubungan dan tidak boleh menghubungi puterinya lagi. Sering dalam keadaan seperti itu, Bapa uskup menjawab; ole….jangan begitukah, sabar…uang dapat dengan mudah dicari, yang penting enu baik-baik saja,” ujarnya menirukan Uskup Huber.
Karena itu, Uskup Huber tak segan-segan meminta pinjaman orang. Segera setelah mendapat pinjaman, Uskup Huber langsung mentransfernya ke rekening anak angkatnya itu.
Sipri Palus juga mengungkapkan anak angkat itu gemar membongkar isi tas Uskup Huber tiap kali Uskup Huber tiba di Bali. Tujuannya satu yakni mengambil uang yang dikumpulkan Uskup Huber dari pelayanannya di Keuskupan Ruteng. Uang-uang itu digunakan untuk shoping, bergonta-ganti perhiasan (emas) dengan harga jutaan rupiah dan membeli pakaian-pakaian mewah
Pernah juga saat berada di Bali, kata Palus, Uskup Huber melakukan sendiri penarikan uang di Bank BNI. Jumlahnya bervariasi; Rp.50.000.000 kemudian Rp.100.000.000 dan pernah juga Rp.150.000.000.
“Selanjutnya, uang-uang tersebut dimasukan ke rekening anak angkat Bapa Uskup atas nama Citra Denada Panjaitan (Bank BRI), Sayang Decinta Devada Panjaitan (Bank BNI dan Bank Mandiri). Jadi, ada tiga rekening dengan dua nama berbeda,” jelasnya.
Parahnya lagi, kata Palus, anak angkat Uskup Huber sampai pernah menyuruhnya untuk mengecek uang yang masuk ke rekening Uskup Huber. Jika ada uang masuk langsung ditransfer lagi ke rekening anak angkatnya itu.
“Ada yang merupakan bantuan untuk sebuah panti asuhan dan ada juga uang stipendium dan itensi dari orang-orang tertentu. Tapi dikemudian hari, uang-uang tersebut akan ditransfer ke rekening anak Bapa Uskup,” ujarnya.
Tak berhenti di situ, ujar Palus, ia juga pernah menyaksikan anak angkat itu meminta uang Rp. 20.000.000 kepada Uskup Huber. Permintaan itu pun dipenuhi Uskup Huber, sehingga uang Rp. 20.000.000 itu ditransfer ke rekening anak angkat itu.
Uang sebesar itu digunakan untuk membeli peralatan olahraga. Padahal, saat itu anak angkat Uskup Huber itu mengeluh sakit perut, katanya karena hamil.
“Ternyata sebenarnya harga peralatan (olahraga) tersebut hanya 5 juta,” tukasnya.
Selain untuk anak angkatnya, terang Palus, uang Uskup Huber juga mengalir ke keluarga anak angkatnya di Kefa-Atambua. Uang tersebut ditransfer dari rekening Uskup Huber ke rekening keluarga anak angkatnya atas nama Maria Keke (Bank BRI dengan nomor rekening 4665-01-005936-53-1). Transaksi itu menggunakan ATM BNI milik Uskup Huber dengan nomor PIN saat itu 258013.
“Kemudian, transaksi tersebut berubah tidak langsung dari rekening Bapa Uskup tetapi melalui rekening saya (Siprianus Palus BRI Cabang Ruteng nomor rekening 0273-01-014272-50-5) baru kemudian ditransfer ke rekening Ibu Maria Keke, dengan alasan takut dicurigai oleh pihak Keuskupan,” jelasnya.
(Berdasarkan rekening koran atas nama Sipri Palus yang diprint out pada 28/8/2015, pukul 10:54:14 yang diterima VoxNtt.com tercatat; pada periode Juli 2014, terjadi lima kali transaksi dari rekening Sipri Palus ke rekening Maria Keke yakni tanggal 4,7,10,12 dan 13. Tiap kali transaksi sebesar Rp. 5.000.000. Jadi, total lima kali transaksi tersebut Rp. 25.000.000).
Selain minta uang, lanjut Palus, anak angkat Uskup Huber itu juga merengek minta rumah. Permintaan itu pun dipenuhi Uskup Huber. Untuk itu, Uskup Huber mengeluarkan uang sebesar Rp. 250.000.000 untuk membayar uang muka kredit.
Kredit itu diajukan melalui Bank BNI tapi prosesnya gagal. Kegagalan itu terjadi karena pihak penjamin kredit yaitu Titus (adik kandung Uskup Huber) menolak membuat surat keterangan.
Ia menolak karena dalam surat keterangan itu dinyatakan bahwa rumah yang dikredit itu adalah milik anak angkat Uskup Huber sedangkan Titus hanya sebagai penjamin kredit. Artinya, jika cicilan kredit tersebut lunas, maka rumah tersebut menjadi milik anak angkat Uskup.
“Karena itu, Uskup Huber dan anaknya itu merasa dirugikan oleh keputusan Bapak Titus. Maka sejak saat itu, Uskup dan anaknya benci dan dendam dengan Bapak Titus. Bahkan, anak Bapa Uskup itu berani mengeluarkan kata-kata kotor dan kutukan buat Bapak Titus sekeluarga,” jelas Palus.
Karena proses kredit melalui Bank BNI gagal, mereka akhirnya beralih mengajukan kredit ke Bank Mandiri sebesar Rp. 1.000.000.000. Kredit sebesar itu bermaksud untuk membeli rumah seharga Rp. 1.500.000.000. Sebagai jaminan usulan kredit tersebut, yakni Surat Izin Usaha (SIU) 2 toko milik anak angkat Uskup Huber yang berlokasi di Ruteng dan Labuan Bajo.
Namun, pihak Bank Mandiri menyatakan jaminan kedua toko tersebut tidak cukup untuk mengabulkan kredit sebesar Rp. 1.000.000.000.
Sementara, Uskup Huber sudah menyerahkan uang sebesar Rp. 500.000.000 sebagai uang muka kredit. Karena takut uang muka tersebut hangus lagi, maka Uskup Huber dan anak angkatnya bersekongkol dengan pemilik rumah (Mantan Pegawai Bank Mandiri) membuat data jaminan palsu.
“Seolah-olah anak angkat Uskup Huber memiliki tempat praktek dokter ahli kandungan di Karang Anyar Bali dengan pendapatan per bulan 70 juta rupiah, Surat izin buka usaha, izin Lurah, daftar pasien yang berobat, papan pengumuman praktek, semuanya dibuat dan dipalsukan. Kredit tersebut pun diloloskan pihak bank. Jangka waktu kredit selama 15 tahun (180 bulan) dengan cicilan per bulan 12 jutaan lebih,” terang Palus.
Sementara, hingga berita ini diturunkan, Uskup Hubertus Leteng belum memberi konfirmasi, meski sudah dihubungi melalui telepon. (Ferdiano Sutarto Parman/VoN).











Usai Mundur, Apa Status Uskup Leteng?


0
358












Mgr Hubertus Leteng Pr. (Foto: Katedralruteng.com)
Floresa.co – Rabu, 11 Oktober 2017 menjadi hari terakhir bagi Mgr Hubertus Leteng Pr memegang kendali Keuskupan Ruteng.
Ia resmi diganti oleh Uskup Denpasar, Mgr Silvester San Pr yang menjadi Administrator Apostolik, sambil menanti Vatikan menunjuk uskup yang baru.
Uskup berusia 58 tahun ini pensiun 17 tahun lebih awal dari yang seharusnya, di di usia 75 tahun, sesuai hukum Gereja.
Permintaan pengunduran diri Uskup Leteng dikabulkan Paus Fransiskus, Selasa, 10 Oktober, setelah selama sekitar 4 bulan terakhir polemik terkait uskup ini ramai dibicarakan.
Advertisement
Lantas, bagaimana statusnya saat ini dan di mana ia akan bertugas?
Romo Marthen Cen, Ketua Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng mengatakan, meski sudah mengundurkan diri dari jabatan Uskup Ruteng, namun, Uskup Leteng  tetap akan menjalankan tugas imamatnya seperti biasa.
“Dia tetap menjadi uskup, hanya uskup emeritus. Dengan kata lain dia sudah pensiun dini,” ujarnya kepada Floresa.co, Rabu malam, 11 Oktober.
“Kalau dia pensiun kan, tidak ada tugas (sebagai uskup), tetapi untuk tugas sebagai imam tetap ia jalankan,” katanya.
Sementara itu, Rm Agustinus Manfred Habur, sekertaris uskup mengatakan, terkait tempat tugas Uskup Leteng yang baru merupakan urusan Vatikan.
Yang pasti, kata dia, mengutip pejabat Vatikan, “dia tidak boleh di Ruteng, Denpasar dan Jakarta.”
“Dalam tempo 10 hari, dia diberi waktu berkemas. Tentang kemana (ia akan dipindahkan), rahasia Vatikan,” katanya.
Ferdinand Ambo/ARL/Floresa













Mulai Hari Ini, Keuskupan Ruteng Dipimpin Mgr Silvester San Pr


0
8250













Mgr Silvester San Pr. (Foto: Kawali.org)
Floresa.co – Bersamaan dengan pengumuman pengunduran diri Mgr Hubertus Leteng Pr, mulai hari ini Rabu, 11 Oktober 2017,  Keuskupan Ruteng akan dipimpin oleh Mgr Silvester San Pr, yang juga Uskup Denpasar Bali.
Penetapan Mgr Sil diumumkan secara resmi oleh Tahta Suci melalui Pastor Fabio Salerno, perwakilan Tahta Suci.

BACA JUGA: Breaking News: Uskup Ruteng Resmi Undur Diri

Mgr. Silvester San lahir di Mauponggo, Nagekeo pada tanggal 11 Juli 1961. Ia adalah anak laki-laki ketiga dari sembilan bersaudara, dari pasangan Roben Robo (ayah) dan Katharina No’o Nore (ibu).
Ia menyelesaikan pendidikan di SDK Maukeli, Seminari Menengah St. Yohanes Berkmans Todabelu Mataloko Ngada (SMP-SMA), Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere dan ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Agung Ende pada tanggal 29 Juli 1988 oleh Mgr. Donatus Djagom, S.V.D., Uskup Agung Ende waktu itu.













Surat penunjukkan Mgr Silvester San Pr. (Foto: dok)

Advertisement
Mgr. San diangkat oleh Paus Benediktus XVI menjadi Uskup Denpasar dan diumumkan oleh Tahta Suci Vatikan pada tanggal 22 November 2008.
Ia ditahbiskan menjadi Uskup pada 19 Februari 2009 di Gereja Katedral Roh Kudus Denpasar, dengan Penahbis Utama Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Uskup Agung Ende.












Ini Arahan Tahta Suci untuk Para Imam Pasca Pengunduran Diri Uskup Leteng


0
1164











Situasi saat pembacaan putusan terkait pengunduran diri Mgr Hubertus Leteng Pr pada Rabu, 11 Oktober 2017. (Foto: dok)
Floresa.coPaus Fransiskus secara resmi menerima pengunduran diri Mgr Hubertus Leteng dari jabatan sebagai pemimpin pastoral di Keuskupan Ruteng pada Rabu, 11 Agustus 2017.
Tahta Suci juga secara resmi mengangkat Uskup Denpasar, Mgr Silvester San, sebagai Administrator Apostolik untuk menjalankan tugas dan wewenang sebagai uskup di wilayah keuskupan itu, sambil uskup baru terpilih.
Pastor Fabio Salerno, pelaksana tugas ad interim dari Kedutaan Besar Vatikan di Indonesia, dalam siaran pers yang dirilis Keuskupan Ruteng menyampaikan pesan penting untuk para imam.
Ia mengajak mereka agar dapat “bekerja sama dengan Administrator Apostolik, menunjukkan kesediaan, rasa tanggung jawab, dan semangat persaudaraan imamat.”
Advertisement
Dia juga meminta mereka untuk mengembangkan persatuan, kerukunan, dan keharmonisan umat Allah, agar umat Allah dapat mengalami sukacita dan damai Tuhan. (FRD/ARL/Floresa)












Breaking News: Uskup Ruteng Resmi Undur Diri


4
39198










Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng Pr usai bertemu dengan sejumlah pastor, Senin 12 Juni 2017 malam (Foto: Ronald Tarsan/Floresa)
Floresa.co – Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Pr secara resmi mengundurkan diri pada hari ini, Rabu, 11 Oktober 2017.
Keputusan ini disampaikan dalam surat resmi dari Sekertariat Keuskupan.
Keputusan ini, menurut surat tersebut, diumumkan setelah Paus Fransiskus menerima surat pengunduran diri Uskup Leteng.
Dalam surat itu, juga dijelaskan bahwa kini Keuskupan Ruteng akan dipimpin oleh Administrator Apostolik, Mgr Silvester San, yang juga Uskup Denpasar.
Advertisement
Rm Manfred Habur, Sekertaris Keuskupan memastikan kebenaran isi pengumuman itu.
“(Ini) sah dari Sekertariat Keuskupan Ruteng,” katanya Rabu sore.
Uskup Leteng memang terlibat skandal, terkait penggelapan uang lebih dari Rp 1 miliar dan dugaan rahasia dengan seorang perempuan.
Kasus ini membuat puluhan imam pada Juni lalu mengundurkan diri dari sejumlah jabatan strategis. Vatikan pun bereaksi dengan mengutus Visitator Apostolik pada Agustus lalu, yaitu Uskup Bandung, Mgr Antonius Bunjamin Subianto.
ARL/Floresa


Penjelasan Keuskupan Ruteng soal Uskup yang Disorot Media Asing

Jabbar Ramdhani - detikNews
https://news.detik.com/berita/d-3681155/penjelasan-keuskupan-ruteng-soal-uskup-yang-disorot-media-asing
Penjelasan Keuskupan Ruteng soal Uskup yang Disorot Media Asing Hubertus Leteng. (BBC/Bishops' Conference of Indonesia)
Jakarta - Pengunduran diri seorang uskup Indonesia, tepatnya uskup Ruteng, jadi sorotan media internasional. Pihak Keuskupan Ruteng akan segera bicara soal pengunduran diri yang masih berselubung misteri itu.

Pihak Keuskupan Ruteng yang dihubungi detikcom siang ini, Kamis (12/10/2017) sekitar pukul 13.30 WIB, memberi penjelasan soal pengunduran diri Hubertus. Hal-hal lain terkait pengunduran diri itu baru akan dijelaskan sore nanti.


Terkait pengunduran diri Hubertus, Keuskupan Ruteng menjelaskan pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Fransiskus, sudah menunjuk penjabat sementara. Dia adalah Mgr Silvestes San, yang saat ini masih bertugas sebagai Uskup Denpasar.

Berikut ini penjelasan lengkap Keuskupan Ruteng:


(jbr/tor)
uskup ruteng uskup indonesia

 

Uskup Indonesia mundur karena dugaan skandal seks dan uang

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41591104









Hak atas foto BISHOPS' CONFERENCE OF INDONESIA
Image caption Di usianya yang menginjak 58 tahun, Hubertus Leteng mengakhiri posisi keuskupannya lebih cepat 17 tahun sebelum masa pensiunnya tiba.

Paus Fransiskus telah menerima pengunduran diri seorang uskup Indonesia yang diduga menjalin hubungan intim dengan seorang perempuan dan mengambil dana gereja.
Uskup Ruteng, Hubertus Leteng, sebelumnya telah membantah melakukan apa yang dituduhkan kepadanya.
Dan tanpa menjelaskan alasannya dia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin pastoral di Keuskupan Ruteng, Rabu (11/10).
Di usianya yang menginjak 58 tahun, Leteng mengakhiri posisi keuskupannya lebih cepat 17 tahun sebelum masa pensiunnya tiba.
Sebelumnya Vatikan telah menyelidiki laporan-laporan yang menyebutkan bahwa dirinya secara diam-diam meminjam uang sebesar US$ 94.000 atau sekitar Rp 1,2 milyar dari Konferensi Waligereja Indonesia atau KWI.
Dia juga diduga telah mengambil uang sebesar US$ 30.000 atau sekitar Rp 400 juta dari keuskupannya.

'Fitnah'

Hampir 70 pastur dilaporkan mengundurkan diri pada Juni lalu untuk memprotes apa yang dituduhkan terhadap Leteng - mengarah ke upaya penyelidikan oleh Vatikan.
Namun demikian, Uskup Leteng menyatakan dana tersebut digunakan untuk mendidik kaum muda yang miskin.
Dalam laporannya pada Juni lalu, The Catholic Herald mengungkapkan bahwa sebagian uang tersebut digunakan Leteng untuk membiayai seorang pemuda dari keluarga miskin yang tengah sekolah pilot di Amerika Serikat.
Leteng juga mengatakan bahwa tuduhan dirinya memiliki hubungan intim dengan seorang perempuan merupakan "fitnah".
Sejauh ini Vatikan belum menjelaskan kenapa uskup tersebut memilih pensiun dini.
Keuskupan Ruteng juga tidak menyebutkan tuduhan terhadap Leteng saat mengumumkan pengunduran diri Leteng serta penggantinya pada Rabu (11/10).

Meski Mundur, Uskup Indonesia Harus Kembalikan Uang Gereja Rp 1,6 M

BBC Indonesia - detikNews
 https://news.detik.com/bbc-world/d-3682022/meski-mundur-uskup-indonesia-harus-kembalikan-uang-gereja-rp-16-m
Meski Mundur, Uskup Indonesia Harus Kembalikan Uang Gereja Rp 1,6 M
Jakarta - Monsinyur (Mgr) Hubertus Leteng, pemimpin Keuskupan Ruteng di Nusa Tenggara Timur, diminta agar mengembalikan dana gereja sebesar Rp 1,6 miliar yang diduga diselewengkannya untuk kepentingan pribadi.
Permintaan itu muncul meskipun Paus Fransiskus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma sudah menerima pengunduran diri Hubertus dari jabatan uskup, Rabu (11/10).
Kewajiban pengembalian dana gereja itu diutarakan Romo Robert Pelita, yang sejak Juni lalu bersama 68 pastor lain mendesak agar Hubertus meletakkan jabatan.
Robert mendasarkan ucapannya pada pernyataan perwakilan Vatikan yang datang ke Ruteng pekan ini.
"Ada penegasan dari utusan Vatikan. Prinsipnya uang itu harus dikembalikan," kata Robert yang berstatus wakil Keuskupan Ruteng di Labuan Bajo, kepada BBC Indonesia.
Namun, kata Robert, utusan Vatikan tidak memberikan jangka waktu pengembalian uang kepada Hubertus. "Hanya ditegaskan bahwa uang harus dikembalikan, entah berapa lama," ujarnya.
Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Ignatius Suharyo, enggan memaparkan duduk perkara di balik pengunduran diri Hubertus. Ia juga mengaku tidak mengetahui tindak lanjut Vatikan atas dugaan penyelewengan dana oleh Hubertus.
"Ini adalah urusan rahasia antara pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma dan yang mereka utus untuk memverifivikasi perkara itu. Yang seperti itu, kami-kami ini tidak tahu," kata Ignatius.
Saat berita ini diturunkan, BBC Indonesia telah berulang kali menghubungi Hubertus sebagai upaya konfirmasi namun dia tidak mengangkat telepon yang telah tersambung.
Ignatius Suharyo Ketua Presidium KWI, Ignatius Suharyo, menyebut pengunduran diri Hubertus Leteng hanya diketahui Vatikan. (ROMEO GACAD/AFP)

Sementara itu, Kabid Humas Polda Nusa Tenggara Timur, Kombes Julies Abraham Abast, menyebut lembaganya belum menerima aduan apapun terkait dugaan penyelewengan dana gereja tersebut.
Sebelum Keuskupan Ruteng melaporkan dugaan itu, kata Julies, kepolisian menganggap isu tersebut tidak valid dan merupakan urusan internal gereja.
"Sejauh ini tidak ada indikasi perbuatan pidana dan keuskupan juga tidak melaporkan kepada kami. Kalau ada aduan, kami pasti akan menindaklanjuti," tuturnya.
'Gejolak umat'
Romo Robert Pelita menuturkan, isu Hubertus mengambil dana gereja tanpa izin telah berkembang sejak 2014 setelah sekelompok imam dan umat menduga Hubertus mengambil Rp1,25 miliar dari common funds milik KWI dan sekitar 425 juta dari kas Keuskupan Ruteng.
"Keuskupan sesungguhnya sudah punya statuta mengatur keuangan. Selama ini, itu semua dilangkahi Monsinyur Hubertus," ujar Robert.
Hubertus, kata Robert, sudah pernah mempertanggungjawabkan nominal uang yang hilang itu kepada Dewan Imam dan Dewan Konsul. Pada forum itu, Hubertus mengaku menggunakan uang tersebut untuk membiayai pendidikan seorang remaja ke akademi penerbangan di Amerika Serikat.
"Tapi nama anak, keluarga anak, dan sekolah disebutnya dengan inisial. Dia bilang anak itu dari keluarga miskin," ujar Robert.
"Apakah pengakuan itu betul, masih disangsikan. Kesangsian yang lahir dari pernyataan dia yang menggunakan inisial."
Katolik Nusa Tenggara Timur memiliki tradisi Katolik yang mengakar, terutama di daerah Larantuka yang terkenal dengan prosesi peringatan kematian Yesus Kristus. (Ulet Ifansasti/Getty Images)

Lebih dari itu, Robert berharap pengunduran diri Hubertus tidak memicu gejolak baru di antara para pastor maupun komunitas umat Katolik di kabupaten itu.
Sekretaris Jenderal Keuskupan Ruteng, Romo Munfred Huber menyebut institusinya akan mengadakan pertemuan dengan para pastor di daerah itu pada 20 Oktober mendatang. Ia berkata, para imam memegang peran vital untuk menjaga hubungan baik antara pemeluk Katolik di Ruteng.
"Imam diminta untuk menyejukkan umat dan memupuk persaudaraan agar semua tetap bersatu. Semuanya akan didekati melalui para imam," ucap Munfred.
Adapun, Ketua Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia cabang Ruteng, Upartus Agat, meminta keuskupan memberikan klarifikasi atas beragam isu negatif yang mengiringi pengunduran diri Hubertus.
"Keputusan uskup mundur menguatkan opini yang selama ini berkembang bahwa dia melakukan penggelapan. Dari kemarin, sejak dikeluarkan berita pengunduran diri, belum ada konfirmasi soal itu," kata Upartus.
Katolik Keuskupan Ruteng berada di bawah Keuskupan Agung Ende, bersama Keuskupan Larantuka, Maumere, dan Denpasar. (Ulet Ifansasti/Getty Images)

Publikasi pengunduran diri Uskup Hubertus muncul pada pengumuman Vatikan tanggal 11 Oktober kemarin. Dalam surat itu, Vatikan menyebut Paus Benediktus telah menunjuk Mgr Sylvester San untuk menggantikan posisi Hubertus di Ruteng. Sebelumnya, Syvester berstatus sebagai Uskup Denpasar.
Gereja Katolik Roma memiliki 37 keuskupan di seluruh Indonesia, terdiri dari 10 provinsi gerejawi dan satu ordinariat militer. Merujuk penuturan Mgr Ignatius Suharyo, penunjukan uskup ditentukan oleh Paus di Vatikan.
Keuskupan Ruteng masuk dalam wilayah administratif Keuskupan Agung Ende, bersama Denpasar, Larantuka, dan Maumere.
Katolik Hubertus Leteng mengaku menggunakan dana gereja untuk menyekolahkan seorang remaja. (Ulet Ifansasti/Getty Images Ilustrasi)

Seperti tertuang dalam struktur kepengurusan KWI, Selain menjabat Uskup Agung Ruteng, Mgr Hubertus Leteng juga memegang jabatan Delegatus Karya Kesehatan Katolik di organisasi itu.
Terkait tertutupnya gereja soal pengunduran diri Hubertus, Ignatius Suharyo menyebut kepentingan umat Katolik sebagai salah satu pertimbangan.
"Semuanya demi kebaikan. Gereja tidak mau merugikan nama baik siapapun, sehingga dibuat sangat rahasia, tidak seperti politik yang melengserkan atau memfitnah. Itu bukan cara gereja menghadapi masalah," ujarnya.

(ita/ita)



Berita NTT

http://kupang.tribunnews.com/2018/12/13/mantan-uskup-ruteng-mgr-hubertus-letengmendapat-tugas-baru-di-keuskupan-bandung?page=4

 




Mantan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Mendapat Tugas Baru di Keuskupan Bandung

Mantan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Mendapat Tugas Baru di Keuskupan Bandung
facebook/beny jaya
Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng sedang memimpin misa di lokasi mata air Wae Poong Waso Ruteng, Kamis (6/4/2017), dalam rangka hari air sedunia, 22 Maret 2017. 
POS-KUPANG.COM - Mgr. Hubertus Leteng, Pr telah dipindahtugaskan ke Keuskupan Bandung tanpa wilayah kekuasaan gerejawi.
Mgr. Hubertus Leteng tahun lalu mengundurkan diri dari posisinya sebagai Uskup Ruteng pasca munculnya tuduhan dari para imamnya sendiri bahwa ia menggelapkan dana Gereja dan berselingkuh dengan seorang perempuan.
Penugasan baru untuk Mgr. Hubertus Leteng  ini memicu kritik di kalangan imam dan umat awam.
Romo Siprianus Hormat, sekretaris eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengonfirmasi kepada ucanews.com pada 9 Desember perihal penugasan baru ini.
“Uskup Bandung yang menyertai semua proses selama ini diberi wewenang untuk memberikan beliau kesempatan melayani paroki dalam status penuh sebagai uskup, tapi tanpa tongkat,” kata Romo Sipri.
Dengan status tanpa tongkat berarti ia tidak memiliki wilayah kekuasaan gerejawi.
Ia menjelaskan, sejak pengunduran dirinya pada Oktober tahun lalu, Uskup Bandung, Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC yang  menyelidiki kasusnya telah didelegasikan oleh Vatikan untuk mengawasinya.
Uskup Leteng mengundurkan diri setelah 69 imam di Keuskupan Ruteng menyerahkan surat pengunduran diri sebagai bentuk protes terhadapnya karena ia diduga secara diam-diam meminjam dana Rp 1,25 miliar dari KWI dan Rp 400 juta dari Keuskuapn Ruteng, tanpa memberikan laporan pertanggungjawaban.
Uskup Leteng mengklaim uang itu digunakan untuk membiayai pendidikan pemuda miskin yang studi pilot di Amerika Serikat, tetapi menolak memberikan penjelasan lebih rinci terkait pemuda itu.
Para imam menduga uang itu diberikan kepada seorang wanita yang mereka duga sebagai selingkuhannya. Tudingan perselingkuhan ini awalnya muncul pada tahun 2014, yang diungkap oleh salah seorang mantan pastor.
Uskup Leteng berkali-kali menolak tudingan terhadapnya dan menyebut bahwa itu merupakan fitnah.
Pada bulan Agustus, Vatikan menunjuk Uskup Subianto untuk menyelidiki kasus tersebut, yang berujung pada pengunduran diri Uskup Leteng.
Vatikan tidak memberikan alasan pengunduran dirinya. Namun, sejumlah imam yang ikut dalam pertemuan dengan delegasi Vatikan kala itu mengatakan, Uskup Leteng diminta untuk mengembalikan uang yang diambilnya dan memutuskan hubungan dengan wanita yang dituding sebagai selingkuhannya.
Pastor Kletus Hekong, dosen Hukum Gereja di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere mengatakan, penugasan kembali Uskup Leteng adalah wewenang Vatikan.
Ia juga mengatakan, pada dasarnya, ia tetaplah uskup, karena pengunduran dirinya hanya dari tugas pastoral Keuskupan Ruteng, bukan dari tugas sebagai uskup dan imam.
“Uskup Bandung tahu soal layak-tidaknya (untuk diberi tugas lagi),” katanya kepada ucanews.com.
Ia juga menambahkan, semua hukuman dalam Gereja bersifat medisinal, yang berarti hukuman dicabut jika ada pertobatan.
Pertobatan itu, tambahnya, tidak harus disampaikan lewat pernyataan.
“Dari seluruh sikap dan perilakunya dapat dibaca mengenai indikasi pertobatan itu. Bisa juga karena soal yang dituduhkan kepadanya ternyata lain. Hanya pimpinan Gereja yang berwenang yang bisa menilainya,” jelas Pastor Kletus.
Sementara itu, Pastor John Mansford Prior, dosen misiologi di STFK Ledalero mengkiritisi soal pola penanganan kasus ini, di mana tidak ada keterbukaan dari Vatikan untuk menjelaskan secara resmi apa saja masalah yang dilakukan Uskup Leteng dan bagaimana pola penanganannya hingga kemudian ia diberi tugas kembali.
Andai kemudian penugasan ini dianggap sebagai bagian dari upaya mengampuni apa yang sudah dilakukan Uskup Leteng, Pastor John mengingatkan bahwa dalam Gereja Katolik pengampunan terhadap kesalahan adalah fase terakhir, setelah fase pemeriksaan batin, mengaku dosa, menyatakan tidak akan mengulangi dosa itu lagi dan menerima absolusi.
“Boleh jadi Leteng sudah memeriksa batinnya, (tapi) dia belum mengaku kesalahannya,” katanya kepada ucanews.com.
“Kalau mau mengampuni Leteng, saya orang pertama yang siap (untuk itu), tapi saya mau ampun dosanya yang mana?” tambahnya.
Ia menjelaskan, kesalahan yang dilakukan Leteng itu adalah skandal di tengah umat, dan karena itu seharusnya gereja transparan untuk menjelaskannya.
Sementara itu, Rikard Rahmat, salah seorang awam Katolik yang terlibat dalam gerakan mendorong mundurnya Uskup Leteng menyebut penugasan kembali itu kesannya tergesa-gesa, kurang memperhitungkan sensus fidei atau perasaan iman umat, terutama umat Keuskupan Ruteng.”
“Ini juga preseden kurang bagus bagi Gereja Indonesia, seakan-akan skandal semacam itu bukan sebagai sesuatu yang serius, tetapi pelanggaran yang ringan-ringan saja,” katanya.
Jashinta Hamboer, tokoh awam perempuan yang pernah menulis surat terbuka menuntut Uskup Leteng untuk mundur mengatakan, baginya, masalah yang dituduhkan ke Uskup Leteng adalah skandal yang sangat serius.
“Karena itu, ketika mendengar kabar penugasannya ini, saya kaget dan bertanya-tanya, jangan-jangan masalah seperti yang dia lakukan itu sudah dianggap sebagai hal biasa dalam Gereja,” katanya.
Ia juga mengatakan, pola penanganan kasus yang tidak transparan dan tegas bisa melemahkan posisi gereja dalam upaya untuk melawan praktik korupsi dan mendorong akuntabilitas serta transparansi.
“Hal demikian akan kehilangan nilainya, ketika di dalam gereja sendiri pun masalah seperti ini tidak dianggap sebagai masalah serius,” kata Jashinta.
Ia menambahkan, meski demikian, ia memilih untuk menghargai keputusan Vatikan ini dan berharap, masalah yang terjadi di Keuskupan Ruteng tidak kemudian pindah ke Keuskupan Bandung.
Sementara itu, Uskup Bandung tidak merespons permintaan ucanews.com untuk memberi penjelasan terkait hal ini.
Tanggapan Netizen
Sejak ucanews melansir berita ini, sejumlah warganet memberikan tanggapan beragam.
Jenny Marisa: Jika nama seorang pejabat gereja setinggi uskup sdh dikaitkan pada suatu skandal (apapun) menurut hemat saya jangan diwariskan ke keuskupan lain. Penanganan ya menurut peraturan yg ada saja dlm gereja.. Selayaknya dan paling pantas adalah beliau mengundurkan diri dari penggembalaan umat dan pensiun saja tanpa kedudukan apapun di tempat asalnya di wisma imam jompo Jangan dihadiahkan ke paroki manapun..
Dedi Suardi: ”Tradisi” Lama Institusi Gereja. Seberat apapun skandal para Selibater/Imam…Cuma satu solusi… dimutasi ke Tempat lain…. Ternyata “Institusi” Gereja sangat pandai “Mafia”. Menyembunyikan skandal dengan cara-cara yang licik….Kalau sudah begini realitasnya….Apa bedanya dengan Institusi yang lain….????
Fransiskus Mami: Saya adalah seorang awam dari keuskupan Ruteng yg juga sangat menyesal dgn skandal yg menimpa uskup Hubertus pada beberapa bulan lalu yg berujung dgn pengunduran diri dari uskup Huber. Dalam benak kmi yg awam kiranya pengunduran diri kemarin tu total bhwa dia keluar dari uskup (pensiun/emeretus) tpi ternyata sekarang Vatikan kembali memberi dia tugas sebagai uskup di Bandung tanpa tongkat saja. Yah Vatikan lebih berkuasa dalam hal penugasan baru.
Saya sebagai awam yah ikuti saja barangkali itu yg terbaik buat uskup Huber juga buat umat. Dengan satu harapan kalau skandal yg dituduhkan kemarin itu benar adanya maka uskup Huber sendiri yg tau tentunya dia bertobat dan tidak mengiulanginya lagi.
Saya cuma berharap dan berdoa agar peristiwa seperti ini jangan terjadi lagi di kalangan para uskup maupun para imam.
Sumber: ucanews.com/indonesia


Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Mantan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Mendapat Tugas Baru di Keuskupan Bandung, http://kupang.tribunnews.com/2018/12/13/mantan-uskup-ruteng-mgr-hubertus-letengmendapat-tugas-baru-di-keuskupan-bandung?page=all.

Editor: Agustinus Sape