KRITIK DAN AUTO KRITIK UNTUK GEREJA KATOLIK
ZERO TOLERANCE
(Oleh : Franz Magnis-Suseno SJ)
"Pelecehan-pelecehan tersebut harus berhenti sekarang juga. Aib itu akan membusukkan Gereja dari dalam. Ke luar Gereja kelihatan saleh dan menuntut dari umat suatu moralitas seksual ekstrem keras. Akan tetapi, ke dalam Gereja membiarkan pelecehan-pelecehan seksual menjadi lebih gawat sehingga membuat orang mau muntah" -Franz Magnis-Suseno SJ-
Gereja Katolik di Indonesia sebagai minoritas kecil dengan bangga dan positif menghayati panggilannya sebagai umat Katolik dengan fokus perhatian pada sekian tantangan dan ancaman yang dialami. Karena itu, kenyataan bahwa Gereja Katolik universal barangkali mengalami krisisnya yang terbesar sejak 500 tahun – semenjak Reformasi Protestan ketika sebagian umatnya memisahkan diri dari padanya – belum sepenuhnya mendapat perhatian. Memang, umat kita tidak perlu dibuat terkejut akan realitas ini. Akan tetapi lain halnya pada kita para rohaniwan, para suster, para imam, dan terlebih para uskup : kita harus sadar. Yang saya tulis berikut ini menurut saya perlu kita ketahui.
Pada tanggal 21-24 Februari 2019, Paus Fransiskus bertemu dengan sekitar 600 uskup, para pimpinan konferensi-konferensi uskup seluruh dunia di Roma. Yang dibahas dalam pertemuan itu adalah skandal yang yang semakin membuat Gereja Katolik kehilangan wibawanya di seluruh dunia. Sejak berpuluh-puluh tahun, terdapat personel Gereja Katolik terutama imam-imam selibater yang terlibat dalam pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak-anak, pemuda laki-laki, dan perempuan yang ada di bawah bimbingannya. Bahkan, beberapa dari peristiwa itu terjadi di dalam kamar pengakuan.
Yang lebih mengerikan ialah para superior dan uskup-uskup secara sitematik menutup aib itu, padahal tindakan pelecehan itu merupakan perbuatan kriminal seperti halnya pencurian dan pembunuhan.
Beberapa hari sebelum pertemuan itu, mantan orang ketiga di Vatikan, Kardinal George Pell, dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri di Australia karena melakukan pelecehan sebanyak lima kali.
Di Prancis pada bulan Maret lalu, Pengadilan Negeri menyatakan Kardinal Philippe Barbarin, seorang Uskup Agung Lyion, bersalah menutup-nutupi pelecehan yang dilakukan seorang dari para imamnya. Kedua-duanya dijatuhi hukuman penjara enam bulan dan menyatakan diri akan naik banding.
Dalam pertemuan di Vatikan, Paus dan para uskup mendengarkan sejumlah korban pelecehan. Maksud pertemuan itu adalah agar Gereja di seluruh dunia menjadi sadar akan kebusukan permasalahan ini.
Masalahnya memang belum semua uskup menunjukkan kesadaran serta perhatian terlebih kepada para korban. Sekarang Paus Fransiskus berharap agar para ketua konferensi uskup memberikan perhatian kepada korban dan mengintensifkan penanganan permasalahan pelecehan seksual di keuskupan masing-masing.
Krisis ini amat mengerikan. Diperkirakan bahwa ada sekitar 11% dari imam di Gereja Katolik terlibat sebagai pelaku. Krisis ini sebenarnya sudah lama membara. Sekarang, krisis yang sama sudah meledak secara terbuka di Amerika Serikat, Chili, Irlandia, Jerman, Prancis, dan Meksiko. Fenomena ini juga terjadi di banyak negara lain dan tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Diperkirakan bahwa masalahnya terdapat di dalam barisan klerus di semua negara.
Yang paling mengerikan dan membuat umat marah adalah bahwa pelecehan itu ditutup-tutupi oleh pihak Gereja, bahkan oleh para uskup dan atasan/superior biara. Pada umumnya, tindakan yang kerap kali diambil oleh otorita Gereja (pembesar) terhadap imam yang bermasalah adalah berupa mutasi kerja, yakni memindahkan imam tersebut dari satu daerah ke daerah lain.
Parahnya, di tempat baru pun imam tersebut kembali melecehkan umat. Akibatnya, para korban mengalami kehancuran iman dan keutuhan psikis. Kemudian paling-paling mereka dibayari “sesuatu” agar mau diam dan tutup mulut terhadap permasalahan itu.
Belum pernah sejak Reformasi Protestan, Gereja Katolik mengalami krisis kepercayaan sedemikian mendalam. Di Jerman misalnya, setiap tahun rata-rata 200.000 orang meninggalkan Gereja Katolik. Mereka yang masih dalam Gereja bukan hanya menuntut agar Gereja secara total mereformasikan diri. Mingguan berpengaruh di Jerman, Die Zeit, memperingatkan bahwa sekurang-kurangnya di negara-negara industri maju, mungkin 20 tahun lagi, Gereja Katolik tidak akan ada lagi.
Keponakan saya, seorang wartawan dan Katolik tangguh (37 tahun), menulis kepada saya bahwa ia memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang 90 persen umat akan meninggalkan Gereja Katolik.
Skandal pelecehan (dan skandal-skandal lain) dianggap merupakan akibat dari struktur kekusasaan dalam Gereja yang miring.
Dalam konteks ini, sekiranya ada tiga hal (yang sampai seakrang bahkan tidak boleh dipertanyakan) yang dituntut untuk dibicarakan secara terbuka kepada Gereja, yaitu : (1) kewajiban selibat bagi semua imam, tentang mengapa tidak boleh ada pastor yang berkeluarga; (2) penolakan penahbisan perempuan menjadi imam dan uskup; serta (3) monopoli kekuasaan (misalnya kekuasaan finansial) di tangan para imam.
Sangat menarik sebagai Paus, Fransiskus tak henti-hentinya menyatakan bahwa “klerikalisme” adalah bahaya terbesar bagi Gereja. Lebih lanjut, sekarang muncul suatu aib Gereja Katolik yang sangat mungkin akan menimbulkan gejolak dalam Gereja, seperti gerakan “#MeToo" (yakni semakin banyak wanita membuka fakta mengejutkan bahwa mereka menjadi korban pelecehan seksual : industry film, di kalangan mode, dibinaan olahraga, bahkan dalam perusahaan-perusahaan).
Pada akhir Januari yang lalu, edisi Perempuan Observatore Romano (koran resmi Vatikan) memuat tulisan yang membuka berita bahwa telah terjadi pelecehan seksual dan perkosaan terhadap para suster oleh imam dan bahkan oleh uskup, serta bahwa ada suster yang lalu dipaksa oleh superiornya untuk melakukan abortus.
Kemudian pada tanggal 3 Februari 2019 kemarin, Paus Fransiskus diwawancarai oleh wartawan tentang tulisan itu dalam suatu konferensi pers di dalam pesawat terbang sewaktu pulang dari Abu Dhabi. Inilah jawaban Paus Fransiskus : “Betul, penganiayaan wanita merupakan masalah – Benar, dalam Gereja ada juga uskup dan imam-imam yang disuspensikan (diberhentikan) - juga beberapa konggregasi suster (dibubarkan).” Paus malah bicara tentang “perbudakan”seksual suster”. Kemudian, Beliau bertanya : “Apakah perlu berbuat lebih banyak melawan itu? Iya. Apakah kami berniat melakukannya? Iya.”Semuanya ini dapat dibaca dalam Vatican Newsletter tanggal 5 Februari 2019.
Sangat mungkin bahwa pengakuan Paus Fransiskus itu akan membuka "pintu air bah" pernyataan tentang aib yang di seluruh dunia sudah begitu lama ditutup-tutupi itu. Hanya dua hari kemudian, Vatican Newsletter melaporkan wawancara terbuka Kardinal Christoph Schonborn dari Wiena dengan Frau Doris Wagner, seorang mantan suster, yang meninggalkan biaranya sesudah lama terpaksa menderita pemerkosaan dan tidak dihiraukan oleh moeder-nya.
Pada tanggal 11 Februari 2019 lalu, The New York Times, koran terbaik di dunia, di halaman pertama memasang foto lima suster India, yang dengan mengabaikan larangan suster superior mereka dan seorang kardinal, membantu seorang rekan suster yang selama dua tahun diperkosa oleh uskupnya sebanyak 13 kali. Mereka membawa uskup itu ke pengadilan. Uskup tersebut sekarang dinonaktifkan oleh Vatikan dan sudah dipenjara. Bahkan, sekarang sudah ada suster-suster lain di India yang juga membeberkan kasus pelecehan seksual yang mereka alami.
Mengapa hal-hal ini saya laporkan di sini?
Saya tidak banyak berkenalan dengan suster. Saya sendiri sampai hari ini belum pernah berhadapan dengan kasus pelecehan terhadap suster. Dalam Die Zeit ditulis bahwa diperkirakan terdapat 10% dari semua. Suster di Amerika Serikat pernah mengalami pelecehan seksual oleh seorang imam atau pastor. Tak ada alasan mengapa di negara-negara lain situasi mesti lebih baik.
Yang jelas, pelecehan suster oleh pastor apalagi oleh seorang uskup, atau juga oleh rekan suster dan malah oleh superior, sama sekali tidak boleh dibiarkan lagi. Pelecehan-pelecehan tersebut harus berhenti sekarang juga. Aib itu akan membusukkan Gereja dari dalam. Ke luar Gereja kelihatan saleh dan menuntut dari umat suatu moralitas seksual ekstrem keras. Akan tetapi, ke dalam Gereja membiarkan pelecehan-pelecehan seksual menjadi lebih gawat sehingga membuat orang mau muntah.
Pelecehan seksual itu sama sekali tidak boleh kita beri ruang lagi. Mulai sekarang, di Indonesia harus ada zero tolerance terhadap pelecehan terhadap suster. Itu berarti bahwa kita harus menciptakan iklim, ketika kalau ada suster yang dilecehkan, ia dapat berani membongkar tindak kejahatan itu. Segenap budaya para superior yang menghendaki supaya kasus-kasus tersebut “jangan sampai diketahui”, haruslah dikikis habis. Para suster yang menjadi superior dituntut agar tidak ragu-ragu berdiri di pihak korban, yakni para suster yang mengalami kekerasan seksual. Imam atau siapa pun yang bersangkutan harus dilaporkan kepada atasan Gerejani.
Jika hal tersebut terkait dengan pemerkosaan, maka harus dilaporkan kepada polisi. Kalau suster yang menjadi korban oleh atasannya tidak diperhatikan dan tidak mau dibantu, rekan-rekan suster harus menjadi seperti lima suster India di atas, yaitu seperlunya melawan atasannya untuk mendukung dan membawa kasus itu ke publik. Kalau dia tetap tidak dihiraukan atau diancam supaya diam, hendaknya dia menghubungi seorang imam atau seorang awam Katolik yang dapat dipercaya.Itu bukan hanya demi suster yang dizalimi.
Kalau Gereja tidak beranjak keluar dari kebusukan dan kemunafikan itu, ia akan hancur karena dosa di dalamnya sendiri seperti yang pernah diperingatkan oleh Paus Benediktus XVI. Gereja di Indonesia pun mungkin akan mengalami krisis yang semakin serius. Kita boleh berterima kasih kepada Paus Fransiskus bahwa Beliau berani memimpin pembersihan Gereja dari kejahatn-kejahatan itu.
Franz Magnis-Suseno SJ
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara Jakarta
Disalin kembali oleh :
Fransisca Tri Susanti Koban, dari majalah Rohani, No.04, Tahun ke-66, April 2019.
Note : No Copas, Share only
Jakarta, 13 Juli 2022
_____
AUTOKRITIK TERHADAP GEREJA KATOLIK
- Gereja Katolik memiliki Kitab Suci yang kedua terbanyak banyak dari sekian Gereja Kristen. Kitab Suci Katolik terdiri dari 46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru.. Jadi jumlah seluruhnya 73 buku. Gereja Kristen Protestan hanya memiliki 66 kitab dan Gereja Ortodoks Etiopia memiliki 81 kitab. (https://www.wikiwand.com/id/Kitab_dalam_Alkitab). Dengan jumlah kitan suci yang bayak itu, Gereja Katolik belum mengajarkan secara sistematis bagaimana umat mengenali isi kitab-kita itu secara mendam. Gereja memiliki tradisi yang panjang bagaimana memperkenalkan Kitab Suci kepada umat melalui Liturgi harian dan mingguan. Namun menurut saya usaha ini belum memadai dalam rangka mengumatkan Kitab Suci. Harus ada usaha yang sistematis bagaimana membaca 76 kitab itu dari level pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi. Praktek baik pada agama -agama Kristen lain bahkan pada agama non Kristen, lebih khusus Islam - menghafal Alquran - perlu dipraktekkan dalam Gereja Katolik. Bagaimana caranya agar selama Sekolah Dasar (SD), 76 kitab ini sudah dibaca oleh anak Katolik? Perlu pikirkan mekanismenya. (JPS, 8 Desember 2022).
- .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar