KASUS PELECEHAN SEKSUAL DALAM GEREJA KATOLIK
Kasus Pelecehan Perempuan Di
Mata John Prior SVD
"Nyatanya, setiap kasus
harus dibongkar, baru pimpinan Gereja mulai bertindak. Di sini peran media masa
dan media sosial sangat penting"
-John Prior SVD-
1]. Setiap kasus yang menyangkut
seorang pastor tertahbis merupakan kasus pelecehan. Ada dua alasan. Pertama,
setiap pastor mengikrarkan janji atau kaul selibat. Jadi, kalau dia berhubungan
dengan seorang perempuan secara intim, dia melecehkan janji atau kaul itu.
Kedua, seorang pastor tertahbis mendukuki posisi sangat terhormat di tengah
masyarakat. Hampir-hampir tak kecuali, relasi seorang pastor tertahbis dengan
perempuan merupakan hubungan antara dia yang “berkuasa” dan korban yang tak
berkuasa. Entah sang korban adalah musdinah (laki) atau siswi (perempuan), atau
orang punya istri. Maka, setiap kasus serupa bukan hanya pelecehan seksual,
tapi sekaligus pelecehan kekuasaan.
2]. Karena kedudukan pastor
tertahbis dinilai tinggi oleh masyarakat, apalagi oleh umat awam yang
dilayaninya, atau siswi yang diajarnya, pelaku tertahbis adalah pihak yang
bersalah. Kita tidak boleh sekalipun menyalahkan si korban seolah-olah si
korban “menggoda” si pastor tertahbis. Pastorlah yang punya status tinggi,
bukan si korban. Dia yang terdidik dan harus tahu diri, bukan anak pasca masa
pubertas yang mengaguminya.
3]. Seharusnya, setiap orang
yang bersalah diperlakukan secara sama sebagai warga negara. Jika orang lain
akan dilaporkan ke polisi karena ia melanggar hukum, pastor tertahbis juga. Tak
boleh si pelaku pasang jubahnya untuk “lolos” dari hukuman. Hukum negara berlaku
untuk semua warga.
4]. Kebiasaan
keuskupan-keuskupan untuk memindah-mindahkan pelaku pastor tertahbis dari
tempat tugas yang satu ke tempat tugas yang lain sudah lama dilarang, termasuk
oleh aturan dan pedoman dari Vatikan. Seharusnya, tidak ada lagi keuskupan yang
berbuat demikian. Si pelaku tertahbis harus menghadapi: a) kasus moral yang
dilanggar, bukan hanya hukum moral tapi untuk melanggar panggilannya sebagai
seorang selibat; b) Hukum negara. Titik.
5]. Sepertinya, pimpinan Gereja
masih mengutamakan “nama baik Gereja”. Ini juga sudah dicegah oleh Vatikan.
Satu- satunya fokus perhatian Gereja dalam kasus pelecehan adalah si korban.
Titik. Si pelaku tertahbis harus bertanggungjawab. Jika ia menghasilkan seorang
anak, anak itu adalah tanggungjawabnya. Ini juga sudah termasuk aturan resmi
dari Vatikan – pun oleh Tarekat-Tarekat religius seperti SVD. Si bapa mesti
menanggung anaknya secara finansial hingga anaknya mencampai umur 18 tahun.
Sebagai pastor tertahbis tak mungkin. Maka, dia harus keluar dari imamatnya dan
mencari pekerjaan lain.
6]. Kalau ada kasus yang
menyangkut orang di bawah umur, atau dengan alasan lain yang wajar (isteri
orang, misalnya) nama si korban perlu dianonimkan. Tetapi, kalau kasus itu
cukup jelas, bukan cuma isu atau gossip, dan ada saksi yang siap memberi
kesaksian di Pengadilan, nama si pelaku, termasuk pelaku tertahbis, dapat
disebut di media masa dan media sosial.
7]. Bagaimana kalau pimpinan
Gereja sepertinya masih mau membela si pelaku tertahbis dan bukan si korban?
Pertama, tentu perlu ada pendekatan pribadi. Kalau pendekatan lisan belum
membawa hasil, surat dapat dikirim kepada pimpinan keuskupan. Jika belum ada
tanggapan sesuai petunjuk dan hukum yang sudah jelas dari Vatikan dan dari
Negara, demonstrasi damai dapat dibuat agar kasus itu terbongkar.
Kita harus mengakui, walau
dengan rasa sedih, malah dengan rasa jengkel, sepertinya, institusi Gereja
sendiri tak mampu mengurus kasus-kasus pelecehan. Nyatanya, setiap kasus harus
dibongkar, baru pimpinan Gereja mulai bertindak. Di sini peran media masa dan
media sosial sangat penting. Bukan untuk menyebarkan isu atau gosip. Bukan.
Tapi untuk menyampaikan ke kalangan umum fakta yang sudah disampaikan secara
lisan dan secara tertulis tetapi belum ditindaklanjuti secara tepat oleh pimpinan
Gereja.
Soal lni bukan hanya kita
temukan di NTT atau di Gereja Indonesia pada umumnya, tetapi juga di dalam
Gereja di luar negeri. Hanya setelah kasus-kasus pelecehan masuk koran dan
disebarluaskan lewat televisi dan media sosial lainnya, barulah pimpinan Gereja
mulai bertindak.
Jadi, bukan pendekatan “menutup
skandal” yang akan menghilangkan skandal-skandal dari kalangan kaum klerus,
tetapi sebaliknya, kita harus “membongkar skandal” baru pimpinan Gereja akan
mulai ikut aturan yang sebetulnya sudah berlaku di Gereja dan negara.
8]. Masih ada kebiasaan yang
sungguh buruk, kalau pimpinan Gereja “menyogok” si korban atau keluarga si
korban dengan sejumlah uang asal ia menandatangani pernyataan bahwa dia tidak
ada menghubungi petugas keamanan atau media. Mulutnya ditutup dengan duit
sepotong. Hemat saya, bukan hanya pimpinan Gereja yang berdosa dalam kasus
seperti itu, tapi si korban akan bersalah kalau dia menyembunyikan kasus yang
seharusnya membawa si pelaku, klerus, ke meja hijau.
------------------
John Prior SVD
Biarawan, Dosen, Puslit Candraditya, Wairklau-Maumere, Flores,
NTT
https://rumahnarasi.home.blog/.../kasus-pelecehan.../
Jakarta, 27
November 2025
Saya masukkan ke dalam blog ini pada , 29 November 2025.