Rabu, 15 Oktober 2014

Keuskupan Ruteng Desak Pencabutan IUP

Inilah Alasan Keuskupan Ruteng Desak Pencabutan IUP


http://www.floresa.co/2014/10/13/inilah-alasan-keuskupan-ruteng-desak-pencabutan-iup/

Floresa.co – Keuskupan Ruteng-Flores, Nusa Tenggara Timur menggelar aksi unjuk rasa menolak kehadiran tambang pada hari Senin (13/10/2014).
Aksi ini yang digelar secara simulatn di tiga tempat, yakni di Ruteng, Labuan Bajo dan Borong, ibukota masing-masing kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur diikuti ratusan pastor dan ribuan umat.
Keuskupan Ruteng memang sudah secara tegas menyatakan sikap menolak tambang dalam Sinode yang digelar di Ruteng, September lalu.
Dalam dokumen hasil Sinode, mereka menyatakan secara tegas alasan mereka menolak kehadiran tambang. Hal itu dikatakan, sebagai hasil dari “refleksi kritis dan diskusi mendalam dalam terang Iman Katolik”.
Bagi Keuskupan Ruteng, tidak ada sikap lain, selain menuntut agar para bupati mencabut semua Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Berikut merupakan dokumen lengkap hasil sinode yang sudah diunggah di situs milik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mirifica.net.
Setelah melakukan refleksi kritis dan diskusi mendalam dalam terang Iman Katolik tentang persoalan tambang mineral dan dampak destruktifnya di Manggarai Raya, Kami, Uskup, Para Pastor, Suster, Bruder, Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Bapak/ibu awam peserta Sinode III yang mewakili umat Keuskupan Ruteng, pada hari ini, Kamis, 25 September 2014, mengungkapkan solidaritas yang  sangat mendalam  dengan para korban tambang. Sekaligus kami menuntut pencabutan semua izin usaha pertambangan mineral yang diterbitkan Pemerintah daerah di seluruh wilayah Keuskupan Ruteng yang mencakup tiga wilayah administratif pemerintahan, yakni Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai Timur.
Dasar Tuntutan
Pertambangan mineral (mangan, emas, pasir besi, batu bara, dll) mengakibatkan kerusakan ekologis yang sangat masif dan radikal. Entah model terbuka atau tertutup, kegiatan pertambangan merusak ekosistem kehidupan. Bukan hanya tanah, hutan dan sumber-sumber air yang dihancurkan oleh pertambangan mineral tetapi juga kestabilan iklim yang menjamin kehidupan manusia dan eksistensi planet bumi. Pelepasan masif karbon ke udara akibat kegiatan tambang merupakan pemicu perubahan iklim serta pemanasan global dewasa ini.
Dengan demikian dampak pertambangan mineral tidak hanya merusak alam lingkungan tetapi juga kehidupan manusia. Pencemaran tanah, air, udara oleh zat-zat beracun akibat kegiatan pertambangan menimbulkan pertama-tama bahaya kerusakan kesehatan manusia khususnya para pekerja maupun warga sekitar lingkar tambang berupa  penyakit kulit, pernafasan (ISPA), dan pencernaan. Penyakit-penyakit ini selanjutnya mengakibatkan kerusakan fungsi alat-alat vital tubuh seperti paru-paru, jantung dan hati.
Lebih dari itu kegiatan pertambangan mengakibatkan proses pemiskinan dan pemelaratan yang sistematis dan masif bagi masyarakat. Wilayah isin usaha  pertambangan yang meliputi puluhan ribu hektar ternyata  mencakup juga wilayah sumber mata air, wilayah hutan, perkebunan, pertanian serta pusat pemukiman masyarakat. Hal Ini mencaplok sumber-sumber kehidupan orang banyak dan generasi selanjutnya. Maka yang terjadi perusakan kehidupan ekonomi masyarakat. Argumen Pemerintah tentang peningkatan kesejahteraan masyarakat oleh usaha pertambangan juga tidak terbukti. Pertambangan ternyata tidak membawa dampak ekonomis yang sangat signifikan baik bagi masyarakat setempat maupun terhadap struktur APBD Pemerintah Daerah. Sebaliknya keuntungan kecil dari kegiatan pertambangan tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki atau recoverylingkungan hidup yang rusak. Uang sebanyak apapun tidak mampu memulihkan kembali tanah, lembah, dan bukit yang telah dirusakkan oleh usaha pertambangan.
Yang paling merisaukan akhir-akhir ini adalah konflik sosial yang diakibatkan oleh pertambangan. Masyarakat lingkar tambang dipecahbelahkan antara yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahan tambang. Hal ini membawa konflik horizontal dan rusaknya keharmonisan, persaudaraan, persatuan dan perdamaian baik dikampung-kampung atau komunitas adat di daerah lingkaran tambang maupun dalam skala yang lebih luas antara warga (umat) di desa, kecamatan atau seluruh wilayah Manggarai Raya.
Selain itu kegiatan pertambangan juga merusak budaya. Tanah adat atau lingko adalah unsur penting dalam budaya Manggarai sebagaimana terlihat dalam ungkapan gendang one, lingkon pe’ang (rumah adat didalam, lingko di luar). Rumah adat/kampung dan tanah adat/lingko adalah unsur dwitunggal yang hakiki dalam budaya Manggarai; kehilanggan salah satunya adalah kepincangan budaya dan kehidupan masyarakat Manggarai. Perusahan tambang sering berdalih bahwa mereka telah membangun rumah adat (Mbaru Gendang/Mbaru Tembong), anehnya pada saat yang sama mereka merusak lingko, padahal gendang tanpa lingko tak bermakna.
Secara iuridis kegiatan pertambangan yang dilakukan diatas tanah masyarakat wajib hukumnya untuk mendapat izin penggunaan hak atas tanah dari pemiliknya. UU Pertambangan Minerba No.4 Tahun 2009, Pasal 136 dengan tegas menyebutkan bahwa   izin usaha pertambangan bukan bukti izin penguasaan hak atas tanah. Pemegang izin kuasa pertambangan sebelum melakukan kegiatan pertambangan wajib mendapat persetujuan dari masyrakat sebagai pemilik hak tas tanah tersebut.  De facto, pemerintah daerah dan perusahan-perusahan tambang telah melakukan upaya-upaya manipulatif  untuk mendapat izin masyarakat dengan cara membuat tanda tangan palsu, rekayasa tokoh adat, melibatkan masyarakat adat lain untuk membuat pernyataan dukungan.
Investasi kegiatan pertambangan selalu melibatkan aparat keamanan baik Polri maupun TNI untuk menjaga keamanan tetapi juga menjadi alat penindas investor terhadap masyarakat. Beberapa kenyataan sudah membuktikan bahwa banyak masyarakat yang mengalami penindasan fisik dan penindasan mental melalui kriminalisasi hak-hak dasar masyarakat. Kasus Tumbak, Sabtu 13 September 2014 bukan hanya menjadi tragedi ekologis tetapi juga tragedi kemanusiaan. Pater Simon Suban, SVD dan masyarakat mengalami perlakuan kasar yang dilakukan secara teroganisir oleh pihak perusahan dan aparat keamanan. Selain itu, aparat pemerintah (Bupati, Dinas, Camat, Kepala Desa) juga turut membela perusahaan tambang dan dengan cara memanipulasi dan mengintimidasi  masyarakat lingkar tambang. Yang terjadi adalah kolaborasi mutualistis tetapi membahayakan antara investor tambang, aparat pemerintah dan aparat keamanan dalam menindas dan mengeksploitasi warga.
Panggilan dan Kewajiban Iman Katolik
Gereja Katolik memahami lingkungan hidup sebagai hal tak terpisahkan dari kehidupan beriman. Allah telah menciptakan alam semesta baik adanya (Kej 1). Karena itu perusakan terhadap lingkungan hidup merupakan tindakan yang melawan sang Pencipta. Iman Katolik menuntut seluruh warga Gereja untuk memperjuangkan keutuhan ciptaan (integritas) dan melestarikan lingkungan hidup.
Lebih dari itu iman Katolik mengakui peran kunci Yesus Kristus dalam tata penciptaan. Sebab “segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh 1:3; bdk. 1 Kor 8:6). Kristus adalah sumber segala sesuatu dan pemersatu dari segala sesuatu yang diciptakan oleh BapaNya. Dia adalah “yang sulung dari segala yang diciptkana. Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu” (Kol 1:15-16). Maka perjuangan menegakan keutuhan dan kelestarian lingkungan hidup dan penolakan terhadap pertambangan mineral berakar dalam panggilan dan tuntutan iman Katolik yang ingin menemukan wajah Kristus dalam keharmonisan, keindahan dan kelestarian ciptaan.
Oleh sebab itu perjuangan untuk menolak pertambangan mineral bukan sekedar perjuangan ekologis dan sosial tetapi juga perjuangan yang bersumber dari panggilan dan tuntutan iman Katolik. Perjuangan ini mengalir dari komitmen untuk meneledani dan berpartisipasi dalam pelayanan Yesus, sang Nabi dan Pembebas, yang memperhatikan dan menolong orang-orang miskin dan korban-korban penindasan sosial serta yang mengkritik situasi ketidakadilan sosial akibat hilangnya kesetaraan dan keadilan dalam akses terhadap sumber-sumber alam yang disediakan oleh bumi, Ibu Pertiwi. Gereja Katollik dipanggil dan dituntut untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan umum dan integritas ciptaan (bdk. GS 27; CA 37)
Tuntutan-tuntutan
Bertolak dari hal-hal di atas, maka kami, peserta Sinode yang mewakili seluruh umat Keuskupan Ruteng menuntut kepada:
  1. Bapak Bupati Manggarai Timur, Bapak Bupati Manggarai, dan Bapak Bupati Manggarai Barat pimpinan wilayah administratip Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk mencabut segera izin tambangyang telah diberikan, membatalkan  pemberian izin tambang yang masih dalam proses dan selanjutnya tidak mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru. Peraturan harus melindungi masyarakat dan menjamin hak-haknya. Peraturan adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk peraturan. Karena itu peraturan yang menindas manusia dan merusak hak dan martabatnya harus dikoreksi atau bahkan dicabut.
  2. Seluruh aparat pemerintah dari Kabupaten, Kecamatan sampai Desa di seluruh Wilayah Administratif Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, terutama masyarakat lingkar tambang dan menjamin hak-hak dan martabat Kami mengecam keras dan melawan semua tindakan aparat Pemerintah yang memanipulasi, mengintimidasi dan mengancam masyarakat.
  3. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun DPD Dapil NTT untuk melakukan fungsi kontrolnya dan legislasinya dengan mengawasi dan meminta pertanggungjawaban Pemerintah Daerah di tiga kabupaten dalam wilayah Keuskupan Ruteng berkaitan dengan aktivitas pertambangan di wilayahnya masing-masing serta membuat peraturan daerah yang membebaskan wilayah Manggarai Raya dan NTT pada umumnya dari investasi pertambangan mineral.
  4. Aparat keamanan dalam hal ini Polri dan TNI di seluruh Wilayah Administratif Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk mewujudkan fungsi penjamin keamanan, kenyamanan dan kedamaian bagi seluruh warga masyarakat serta tidak memihak investor tambang apalagi memprovokasi pihak manapun dalam konflik pertambangan dan lingkungan hidup.
  5. Lembaga-lembaga peradilan yang menanggani perkara yang berkaitan dengan pertambangan untuk menegakkan keadilan dan kepastian hokum, menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar masyarakat dan mengutamakan keutuhan ciptaan dan keadilan bagi warga.
  6. Seluruh umat Katolik Keuskupan Ruteng di tiga wilayah Kabupaten Manggarai Raya untuk terlibat aktif, konstruktif dan berkelanjutan dalam gerakan bersama tolak tambang melalui doa, katekese, publikasi dan penyadaran sosial kritis serta demonstrasi damai sampai seluruh ijin pertambangan di Manggarai Raya dicabut.

Ruteng, 25 September 2014
Dalam persaudaraan Sinodal,
Uskup Ruteng
Mgr. Hubertus  Leteng


Duka Tumbak dalam Serbuan Tambang

 http://www.floresa.co/2014/10/14/duka-tumbak-dalam-serbuan-tambang/
 
Romo Max Regus Pr
Romo Max Regus Pr
Oleh: Romo Max Regus Pr, pernah meneliti resistensi lokal dan tambang di Flores (2009-2010),  Kandidat Doktor Graduate School for Humanities, Universitas Tilburg, Belanda
Dentingan nestapa itu sedang mengalun dari Tumbak, sebuah kampung kecil di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan kepala keluarga tidak lebih dari 70-an, pendapatan berkisar dari Rp 400.000 hingga Rp 1.000.000 per bulan dan mata pencarian bertani, kampung kecil ini sedang mengirimkan pesan penting ke pusat kekuasaan.
Pada hari-hari ini, ketika para penguasa sedang sibuk membincangkan posisi politik, sejumlah kecil warga bangsa terkurung dalam ruang kepedihan. Sesuatu yang terus berulang dalam beberapa tahun belakangan ini. Itu terjadi ketika industri tambang mengepung dan merobek pulau kecil di ujung timur Indonesia itu.
Pembantaian ekologis
Dalam catatan sejumlah aktivis antitambang di Flores, kemunculan sekian banyak korporasi sejak tahun 2007 sudah mengundang keprihatinan.
Kampung Tumbak, dalam artian keseluruhan komunitas sosial termasuk hak ulayat atas kawasan, menjadi incaran utama perusahaan tambang.
Dalam konteks pemekaran wilayah, Tumbak berada di daerah pemekaran, Manggarai Timur. Kondisi transisi politik lokal ini memberikan peluang kepada pelaku tambang untuk masuk dan kemudian merusak pertahanan masyarakat lokal di sana. Dari tahun ke tahun, korporasi tambang terus berusaha mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah daerah Manggarai Timur.
Secara formal yuridis, korporasi tambang kemudian menggenggam hak eksplorasi tambang di Tumbak. Bayangan kerusakan segera mengintai masyarakat dan lingkungan hidup. Kawasan incaran perusahaan tambang langsung berhubungan dengan wilayah pendukung aktivitas pertanian warga. Pembantaian ekologis (ekolosida) bergerak dengan cepat dan mencuri masa depan warga lokal.
Ironisnya, ketragisan ekologis ini dibingkai oleh IUP dari pemerintah daerah. Dengan secarik kertas IUP di tangan, perusahaan tambang seolah memiliki privilese mendapatkan pengawalan dari pihak keamanan.
Inilah yang saat ini menjadi salah satu persoalan krusial dalam konteks duka Tumbak.
Dari kacamata masyarakat dan kelompok advokasi, kepolisian dianggap telah menunjukkan keberpihakan kepada korporasi tambang. Mereka lebih sering tampil sebagai alat yang memperlancar operasi perusahaan tambang ketimbang menghadirkan rasa aman bagi masyarakat.
Perlawanan masyarakat, yang kemudian cenderung berujung pada konflik terbuka, terjadi pada 13 September 2014 ketika Pastor Simon Suban Tukan, salah seorang aktivis Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Flores, mengalami kekerasan.
Berkaitan dengan kejadian ini, sejumlah jaringan advokasi penentang tambang di Flores mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk membatalkan semua IUP. Bahkan, Komnas HAM yang melakukan investigasi atas persoalan Tumbak merekomendasikan moratorium eksplorasi dan eksploitasi tambang di kawasan ini.
Politik lokal
Sekurangnya, dalam konteks tragedi Tumbak, pemerintah lokal selalu mengajukan dua argumentasi unggulan dalam mendukung operasi perusahaan tambang.
Pertama, pemerintah lokal tidak dapat menghalangi UU yang memberikan basis yuridis-formal bagi keberadaan investasi tambang. Padahal, sebenarnya argumentasi ini bisa dipatahkan dengan pernyataan fundamental tentang karakter sosio-kultural masyarakat. Masyarakat agraris dengan paham kosmologis yang tertaut erat dengan alam sekitar menghadapi keterancaman dengan kehadiran mesin tambang di pulau kecil itu.
Kedua, alasan percepatan pertumbuhan kesejahteraan ekonomi selalu diletakkan di belakang izin yang diberikan kepada perusahaan tambang di Flores. Tambang akan menghadirkan volume kemakmuran bagi masyarakat Flores.
Hingga sekarang, argumentasi ini belum menghadirkan pembuktian sahih selain semakin banyak kawasan yang berubah rupa menjadi lubang-lubang raksasa. Kerusakan area penyanggah kultur masyarakat agraris justru mengancam klaim logika kesejahteraan ekonomi.
Maka, rakyat banyak berharap pada kehadiran pemerintahan baru yang memiliki ikhtiar memperkuat dan membangun kampung (desa). Dengan demikian, kisah serupa Tumbak seharusnya segera mendapatkan jalan keluar terbaik.
Pertanyaannya adalah apakah pemerintah daerah masih berkukuh mengeluarkan IUP dengan logika percepatan kemakmuran ekonomi warga desa dengan akan hadirnya dana semiliar rupiah per tahun yang akan masuk ke kampung-kampung kita?
Pemerintahan Jokowi-JK harus menyikapi deretan ekolosida yang tergelar semakin ramai di pelosok-pelosok negeri akibat meriahnya salah kaprah kepemimpinan politik lokal.
Politik lokal kerap memunculkan tengkulak politik lokal yang dengan mudah menggadaikan kuasa mereka untuk menerbitkan IUP dengan kemudahan-kemudahan ekonomis di depan mata mereka.
Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Kompas Siang pada Sabtu, 11 Oktober. Diterbitkan lagi di sini untuk pencerahan bagi publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar