*Oleh Inosensius Sutam
Bom meledak lagi di Gereja Katedral Makasar pada minggu palma atau minggu palem (28 Maret 2021). Minggu yang menjadi awal dari pecan suci dan yang lain menyebutnya sebagai minggu sengsara. Sebutan yang terakhir ini mungkin relevan dengan kesengsaraan akibat teror bom ini. Kutukan dan kecaman serta ucapan solidaritas pun mengalir deras dari seantoro Indonesia. Bom ini menghancurkan fisik dan materi, tapi tidak boleh menghancurkan jiwa dan roh persaudaraan dan perdamaian.
Hal ini tentu sesuai dengan roh minggu palma. Liturgi minggu ini dimulai dengan pemberkatan daun palem, lalu perarakan dan masuk meriah ke dalam Gereja. Kemudian dilanjutkan dengan liturgi Sabda yang berpuncak pada kisah sengsara Yesus Kristus. Disusul dengan liturgi Ekaristi.
Bacaan pada saat pemberkatan daun palem sungguh menggembirakan. Narasi yang memekarkan imaginasi sosial, kultural, politis, dan tentunya spiritual. Lautan daun palem segar itu dilambaikan. Sebuah suasana suka dan gembira. Yerusalem sejenak lepas dari penat, dan bergembira ria. Semua seperti disiram embun surgawi di tengah dahaga akan Sang Almasih, Sang Pembawa perdamaian dan keselamatan.
Pekikan ‘Hosana Putra Daud” membahana membelah angkasa. Burung-burung pun bersukaria mengepak sayap dengan lemah gemulai seolah-olah ikut menari ria. Debu-debu beterbangan tersentuh kaki yang menari riang. Baju-baju dihamparkan dijalan. Badan telanjang diselimuti ceria yang bertunas.
Semua kata-kata pujian mengalir seperti semburan Sungai Yordan yang membasahi gurun kering tanpa henti. Memancar dan menyembul seperti tak ada habisnya. Masuknya Yesus ke Yerusalem adalah sebuah peritiwa peninggian dan pemuliaanNya secara manusiawi, sosio-kultual, dan historis.
Yesus adalah Raja, dan Ia pantas disanjung, dielu-elukan, dipuja-puji, dan dimuliakan. Ia seorang pemimpin yang populis: dekat dengan rakyat kecil dan bersatu dengan penderitaan mereka. Dia menjadi harapan mereka: menjadi penyambung lidah dan jembatan perjuangan dalam segala bidang. Ini sejalan dengan warna hijau daun palem: warna harapan akan mekar, bertumbuh, dan jayanya hidup. Yerusalem menjadi kota damai, kota abadi.

Tetapi rasa abadi dan damai itu seperti sesaat dan sejenak saja. Kemudian semuanya ternyata berganti seiring dengan tenggelamnya sang surya, seiring dengan bergantinya hari, dan seiring dengan layunya daun palem yang dimakan waktu dalam sengat halus matahari musim semi.
Daun palem yang dilambaikan itu telah putus dari tangkai kehidupan. Mereka rentan. Segar sejenak, layu kemudian. Daun palem tak jauh berbeda dari keadaan hati rakyat Yerusalem yang jauh dari tangkai kehidupan Sang Ilahi. Antusias pada awal, dan layu kemudian. Semuanya berubah. Pekikan pujian “Hosana Putera Daud”, berubah menjadi pekikan benci yang mencekik, “Salibkan Dia”. Yesus yang dianggap sebagai raja berubah menjadi seorang penjahat.
Keledai tungganganNya berubah menjadi salib yang menindih. Pakaian mereka yang dihamparkan berubah batu-batu jalanan salib yang kasar. Daun palem yang dilambaikan berubah menjadi cemeti. Itulah kisah sengsara Yesus Kristus. Itu yang dikisahkan pada Bacaan Injil, kisah sengsara, dalam liturgi minggu palma.
Siapakah mereka yang balik menentang Yesus Kristus? Pertama, bisa jadi dan kemungkinan besar mereka yang menyanjung dan memuji Dia pada saat Dia memasuki Yerusalem. Mereka mungkin kecewa atau dibelokkan hatinya oleh berbagai kepentingan atau dihasut dengan fitnah keji dan kejam tentang Yesus. Kedua, bisa jadi masa tandingan dan bayaran dari para lawan atau musuh Yesus yang memang sudah bertentangan dengan Dia sepanjang hidup publiknya. Ketiga, bisa juga gabungan dari kedua kelompok ini.
Mengapa mereka balik menentang Yesus? Pertama, sebenarnya di belakang kelompok-kelompok penentang Yesus di atas, ada struktur besar elit politik dan agama yang merasa terancam dan iri hati.
Mereka ingin menjatuhkan Yesus Kristus, karena telah menjadi ancaman nyata dari luar struktur. Yesus sudah menjadi figur publik yang pengaruhNya semakin membesar dan pengikutnya semakin banyak. Mereka menghasut massa. Kedua, hal itu menemukan momentumnya, karena Yesus tidak mau menjadi raja politis mereka.
Mengapa mereka mau menjadikan Yesus sebagai raja? Sebagai bangsa kecil dan minoritas dalam segala hal yang sedang dijajah bangsa Roma dan selalu terancam oleh bangsa besar sekitarnya, orang Yahudi pada zaman Yesus memang sungguh mengharapkan seorang tokoh mesianis besar seperti Musa, Yosua, Saul, Daud, Simson, dan tokoh-tokoh perjanjian lama yang berkekuatan super. Mesias bahkan lebih dari mereka semua. Mereka melihat dalam diri Yesus banyak kriteria mesianis yang terpenuhi. Yang belum ada tentu bisa ditambahkan.
Yesus sangat bijak dan cerdas. Berani. Sederhana. Dekat dengan orang kecil. Bisa menyembuhkan, bahkan membangkitkan orang mati, dan sederet mukjizat lainnya. Namun antara Yesus dan para pemujaNya ternyata ada perbedaan besar. Perbedaan itu terdapat dalam isi harapan dan cara mewujudkannya.
Yesus tampil dengan postur dan gestur yang sangat lain dan berbeda dengan harapan mesianis sosio-politis. Dia pun menolak permintaan mereka. Mengapa Yesus menolak? Dua alasan. Pertama, Yesus datang untuk semua manusia, seluruh bumi dan alam semesta. Dia Raja alam semesta. Ia ingin merangkum semua manusia. Ia raja damai yang ingin membangun persaudaraan dan persekutuan antara semua manusia dan semua ciptaan. Ia tidak rasis dan diskriminatif. Kedua, Yesus Kristus adalah raja spiritual, yang ingin membawa perdamaian yang disimbolkan oleh keledai yang ditunggangNya.
Yesus ingin menguasai dunia jiwa dan roh manusia, dan bukan terutama fisik dan struktur luar dalam bidang politik. Yesus bermain pada akar dan pokok kehidupan, mereka bermain pada cabang, ranting, daun, bunga, dan buahnya. Bukan terutama bangsa penjajah itu yang harus dilawan tetapi cara berpikir, budaya, mentalitas, adat-istiadat yang menyebabkan orang berpikir, berbicara, dan bertindak untuk menjajah yang lain. Itulah yang harus dilawan. Hal itu ada pada pikiran, pada jiwa, dan roh manusia. Itu yang harus diubah. Ini misi Yesus Kristus.
Penjajah itu bukan hanya bangsa besar dan Roma tetapi setiap individu: mereka juga adalah penjajah yang lain dalam keluarga, dalam bentuk budaya patriarkal yang kental misalnya. Mental untuk menindas yang lain itulah yang harus dibasmi dan diganti dengan budaya damai dan cinta. Ia mati sebagai benih damai dan cinta. Daun palem konon juga adalah lambang kemenangan martir atas kematian. Ini adalah tanda harapan akan kehidupan setelah kematian. Dalam kematianNya di salib, Yesus ingin memutuskan rantai kebencian, kekerasan, dan dendam.
Narasi minggu palma ini adalah jawaban spiritual terhadap bom di Katedral Makasar. Bom ini laksana pekikan benci yang mencekik dari penentang Yesus. Jika kita membalasnya dengan kebencian, maka kerajaan maut dan iblis semakin besar. Kita semakin hancur. Bom menghancurkan badan, tetapi tidak bisa menghancurkan roh dan jiwa. Ia menghancurkan materi tetapi tidak pernah bisa menghancurkan cinta.
*Penulis adalah rohaniwan katolik dan dosen di UNIKA Santu Paulus Ruteng.
________________________________________________________________________
Jumat Agung dan Pilatus yang Linglung
Andreas Zu - detikNews
Pilatus tak kurang akal. Dituliskanlah INRI di atas Salib Yesus. INRI: Iesus Nazarenus Rex Iudaerom, "Yesus orang Nasareth, Raja Orang Yahudi" Dengan tulisan itu, Pilatus tampak sah menghukum mati Yesus karena Ia mengangkat diri sebagai Raja Yahudi. Mengangkat diri sebagai Raja Yahudi berarti menolak pemerintahan Kaisar Romawi yang menjajah Yahudi. Tulisan itu menjadi pembenar atas tindakan keji itu. Tampak di sini Yesus disalib karena Pilatus takut membela kebenaran.
Takut Membela Kebenaran
Takut membela kebenaran adalah salah satu penyakit masyarakat kita. Tak berani bicara jujur, karena takut teman tidak suka. Tak berani bicara apa adanya karena takut dikucilkan. Apalagi, ditambah budaya ewuh-pekewuh, belum lagi budaya ethok-ethok.
Antarteman takut bicara kebenaran. Di lingkungan kerja, saling memaklumi adalah sebuah kebiasaan. Pejabat takut menyampaikan kebenaran karena elektabilitas dipertaruhkan. Intitusi peradilan ragu-ragu mengetuk palu keadilan karena membabi butanya tekanan. Kita menjadi pilatus-pilatus baru, pecundang asal selamat.
Kebenaran yang ditolak kadang membawa akibat yang runyam. Kalahnya kebenaran membawa golgota kepada mereka yang terpinggirkan. Mungkin di relung hati kita pernah bertanya: sampai kapan "aksi kamisan" berhenti menuntut keadilan dan mengetuk kebenaran? Entah sampai kapan tanah Papua berteriak memprotes ketidakadilan. Entah sampai kapan tragedi-tragedi kemanusiaan terus tidak diselesaikan. Adakah kita bisu membela kebenaran?
Kebenaran yang Disalibkan
Dalam kacamata iman Katolik, wafat Yesus Kristus adalah penebusan dosa. Allah mengasihi manusia hingga mengorbankan putra tunggal-Nya. Yesus mengembalikan Firdaus yang hilang sejak Adam-Hawa jatuh ke dalam dosa. Allah Bapa menerima ketaatan putra-Nya dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga.
Mengembalikan Firdaus berarti mengembalikan segala sesuatu yang tercipta harmonis. Bukankah dalam Kitab Kejadian disebutkan semua diciptakan baik adanya? Wafatnya yang tampak sebagai tenggelamnya kebenaran nantinya akan dibalaskan dalam kebangkitan. Firdaus baru menjadi tempat yang lapang akan kebenaran.
Kematian memang memilukan sekaligus menakutkan. Ia menghantui manusia. Dalam kacamata lain, ketika Pilatus plin-plan, kita bisa melihat kebenaran tampak mati. Ia pilu dihajar dengan sadis. Kita disuguhkan tragisnya hidup manusia. Kita dipertontonkan muramnya nasib kebenaran. Namun, setelah tiga hari, nanti kita akan melihat, Ia dibangkitkan dengan segala kebenaran-Nya.
Mengenang Sang Kebenaran
Jumat Agung adalah momen khusus bagi umat Kristiani untuk merenungkan kasih Allah yang mencintai manusia tanpa sisa. Ia mencintai dengan sepenuh-penuhnya. Kayu salib dan puncak golgota adalah jalan mengasihi manusia. Itulah kebenaran utama.
Yesus akan mengatakan dengan lantang, "Sudah selesai." Iya, ketaatan-Nya kepada Bapa sudah sampai akhir. Iya, jalan mengasihi manusia sudah tuntas. Iya, jalan penebusan sudah sempurna. Itulah kebenaran yang makin tersingkapkan dalam terang kebangkitan. Yesus menghidupi kebenaran dengan kesungguhan. Ia tidak pernah ragu melangkah dalam kebenaran.
Sekali lagi, kita diingatkan kisah dalam Injil. Dalam pengadilan itu, Pilatus bercakap dengan Yesus. Pilatus bertanya, "Jadi, Engkau adalah Raja?"
Jawab Yesus, "Engkau mengatakan bahwa Aku adalah Raja. Untuk itulah, Aku datang ke dalam dunia, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran, setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku."
"Apakah kebenaran itu?" tanya Polatus
Pertanyaan Pilatus adalah pertanda bahwa baginya kebenaran tidak pernah jelas. Bagaimana mungkin dia dapat membela kebenaran kalau kebenaran yang sejati tidak diketahuinya?
Iya, kebenaran harus dipegang supaya dapat dibela kuat-kuat. Semoga kita bisa mengenang kasih Sang Kebenaran itu, menyimpan rapat dalam hati, dan menjadi dasar supaya kita berani menyuarakan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Selamat Jumat Agung!
Andreas Zu Imam Katolik
__________________________________________
