Senin, 19 Oktober 2015

PAUS KANONISASI AWAM - SUAMI - ISTRI


Pertama dalam Sejarah, Paus Kanonisasi Pasangan Suami Istri

 http://internasional.kompas.com/read/2015/10/19/11193051/Pertama.dalam.Sejarah.Paus.Kanonisasi.Pasangan.Suami.Istri

Senin, 19 Oktober 2015 | 11:19 WIB
Telegraph Pasangan Louis dan Zelie Martin

Terkait

VATIKAN, KOMPAS.com — Paus Fransiskus melakukan kanonisasi (pemberian gelar suci) kepada satu pasangan suami istri dalam sebuah upacara di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Minggu (18/10/2015). Itu pertama kalinya dalam sejarah Gereja Katolik pasangan yang menikah dikanonisasi. Paus berharap langkah tersebut memberikan pesan tentang pentingnya keluarga.

Louis dan Zelie Martin mempunyai sembilan anak, salah satunya adalah Santa Theresa dari Lisieux yang terkenal, yang meninggal dalam usia 24 tahun pada 1897 dan dikenal dengan panggilan "The Little Flower". Empat dari anak-anak pasangan itu meninggal saat mereka masih bayi, sedangkan lima anak lainnya yang bertahan hidup, semua gadis, menjadi biarawati.

Kini kedua orangtua itu sendiri mendapat gelar orang suci dalam sebuah upacara yang berlangsung pada awal minggu terakhir Sinode tentang keluarga, sebuah pertemuan puncak Vatikan di mana para uskup dan kardinal membahas serangkaian isu-isu seperti ikatan pasangan sesama jenis dan komuni bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi.

"Pasangan kudus Louis Martin dan Marie-Azelie Guerin melakukan ibadat Kristen dalam keluarga, setiap hari menciptakan lingkungan iman dan kasih yang membina panggilan anak-anak perempuan mereka," kata Paus Fransiskus saat misa.

Namun, untuk bisa diberikan gelar kudus, pasangan itu harus telah melakukan sebuah keajaiban.

Awal tahun ini, Fransiskus mengatakan, mukjizat terjadi ketika seorang bayi Spanyol bernama Carmen, yang lahir prematur, mengalami pendarahan otak besar dan kerusakan permanen. Orangtuanya berdoa memohon kesembuhan lewat perantaraan pasangan suami istri Martin dan gadis kecil itu selamat.

Baik Carmen, sekarang 7 tahun, maupun seorang anak laki-laki Italia berusia 12 tahun yang juga dikatakan telah disembuhkan oleh pasangan itu dalam sebuah keajaiban yang lain, menghadiri upacara tersebut.

Louis awalnya berencana untuk menjadi seorang biarawan, tetapi setelah ditolak karena kemampuan bahasa Latin yang buruk, ia bertemu dan jatuh cinta dengan Zelie di Alencon, Normandia, Perancis. Ia lalu menikahi Zelie tiga bulan kemudian pada 1858.

Pasangan tersebut awalnya bermaksud untuk menjalin hubungan sebagai kakak dan adik. Namun, oleh seorang pastor mereka kemudian dibujuk untuk membangun sebuah keluarga.
Editor : Egidius Patnistik
Sumber: The Telegraph

Jumat, 07 Agustus 2015

Gereja SMS


Gereja SMS

Jumat, 7 Agustus 2015 14:24 

 http://kupang.tribunnews.com/2015/08/07/gereja-sms


Oleh Dr. Martin Chen
Sekjen Sinode III Keuskupan Ruteng
SMS adalah istilah yang akrab bagi semua insan dalam zaman teknologi informatika dewasa ini. Ia dikenal oleh orang dewasa maupun anak kecil, serta menjangkau bukan hanya kota yang berada di pusat tapi juga kampung yang terletak di udik. Maka istilah Gereja SMS mensinyalkan kehadiran Gereja yang menyapa semua orang secara konkret dari segala lapisan.
Gereja SMS bukan menayangkan kehadiran Gereja yang maya dan anonim, tetapi yang sungguh terlibat dalam pergumulan hidup manusia. Ia tidak menampilkan kehadiran yang eksklusif tetapi mengisahkan narasi-narasi inklusif perjumpaan Allah dengan manusia di segala penjuru bumi (bdk. Mat 28:19). Akronim dari Gereja SMS: solid, mandiri, solider. Inilah yang menjadi arah dasar pastoral keuskupan Ruteng, hasil utama Sinode III Keuskupan Ruteng Sesi Puncak tanggal 13-19 Juli 2015.
Beriman Solid
Solid berarti teguh dan utuh. Gereja keuskupan Ruteng ingin menjadi Gereja yang menghayati iman secara holsitik. Iman bukanlah sesuatu yang berurusan dengan hal rohani saja, tetapi juga meliputi dimensi jasmani kehidupan manusia. Iman menggerakan manusia untuk tidak hanya menari indah di seputar altar Gereja tetapi melangkah ke tengah dunia dan berjingkrak penuh suka cita di sana. Horison kerinduan akan kepenuhan surgawi menjadi sumber kekuatan dan inspirasi pergulatan hidup nyata di muka bumi ini.
Maka dengan visi iman yang solid ini, Gereja keuskupan Ruteng ingin mengatasi problem tendensi penghayatan iman yang alienatif, yang terasing dari kehidupan harian dalam diri banyak kalangan selama ini. Gereja ingin hadir bukan sebagai penonton penderitaan umat, juga bukan ingin ditonton sebagai menara gading yang indah di tengah dunia. Tetapi ia ingin menjadi garam dan ragi yang meresapi seluruh kehidupan manusia dan memberikan kelezatan dan sukacita yang melimpah (Mat 5:13).
Dengan demikian visi iman yang solid (utuh) ingin pula menjawabi problem liturgisentris yang menjadi pola pastoral Gereja selama ini. Keuskupan Ruteng ingin membangun sebuah gaya pastoral baru yang tidak hanya berkutat dengan doa dan ibadat, pelayanan sakramen dan devosi. Meskipun liturgi adalah sumber dan puncak kehidupan beriman (SC 10), namun tidaklah tepat bila kehidupan Gereja dibatasi dan dikerangkengi dengan perayaan liturgi.
Malah liturgi yang sejati menuntut lebih dari sekedar rubrikasi dan ritualisasi. Perayaan liturgi menjadi kaku dan mandul bila tidak diinspirasi oleh Sabda Allah dan tidak menjadi motivasi perutusan profetis dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu pastoral Gereja haruslah bersifat integral, artinya mencakupi bidang pewartaan (kerygma), bidang pengudusan (liturgi), dan bidang pelayanan (diakonia) secara serasi dan seimbang.

Tugas perutusan Gereja tidaklah hanya untuk merayakan iman dalam liturgi tetapi juga untuk terus menerus mewartakan iman dan mewujudkan iman itu dalam pergumulan konkret di tengah dunia. Hanya dengan penghayatan iman yang integral ini, Gereja Katolik Manggarai semakin menjadi persekutan yang kokoh dan solid (nai ca anggit, tuka ca le'leng).
Beriman Mandiri
Selama ini kemandirian dimengerti sebagai kemampuan Gereja secara finansial dalam menghidupi dirinya sendiri maupun secara personal dalam ketersediaan tenaga kepemimpinan yang memadai. Namun arti mandiri lebih dalam dan luas daripada sekadar aspek finansial dan organisatoris.
Secara esensial mandiri berkaitan dengan kemampuan Gereja berkat kekuatan Rohkudus untuk berdaya tahan dalam segala badai yang melanda maupun untuk berdaya kreatif keluar dari krisis serta merangkai masa depan yang baru. Maka melalui visi iman yang mandiri, Gereja Keuskupan Ruteng ingin menegaskan keyakinan akan rahmat Allah yang menjadi sumber kekuatan dirinya sehingga berdaya lentur dalam segala tantangan, dan dalam segala situasi selalu berkembang kreatif.
Krisis dalam kehidupan Gereja seringkali terjadi bukan berasal dari luar, tetapi dari dalam diri. Gereja tidak menjadi tanda kehadiran Allah yang penuh belas kasih di tengah dunia, ketika dia menjadi institusi moral yang kaku dan kejam. Gereja menjadi kerdil dan beku bila dia merasa nyaman dalam kehidupan dan gaya pastoral yang rutin. Gereja kehilangan roh, bila pemimpin Gereja terbius dalam kemapanan struktural dan kenikmatan status dan umat hidup dalam dunia perasaan damai yang semu. Hal inilah yang dikritik pedas oleh Paus Fransiskus.
Menurutnya, "sebuah Gereja yang atas dasar ketertutupan dan kenyamanannya, melekat dengan kemapanan diri sendiri, adalah Gereja yang sakit" (EG, 49). Sebaliknya beliau mengajak Gereja menjadi "Gereja dengan pintu terbuka" yang berjalan keluar dari dirinya sendiri, pergi ke jalan-jalan meski harus menjadi penyok, berdebu dan berlumuran darah karena ingin mewartakan sukacita injil kepada orang miskin, menderita dan terpinggirkan (EG, 49).
Jadi gagasan iman yang mandiri menggarisbawahi gaya pastoral baru yang kontekstual, yang sungguh bertolak dari jeritan penderitaan dan sorakkan sukacita umat, dan bukannya pastoral rutin yang mengajarkan prinsip abstrak dan sekedar merayakan ritual iman yang baku. Lebih dari itu iman yang mandiri mengungkapkan sebuah gaya hidup yang baru, spiritualitas yang berpangkal dalam kesaksian hidup Yesus sekaligus tanggap terhadap perkembangan zaman.
Maka konsep mandiri sesungguhnya menegaskan gagasan iman yang dinamis. Yakni iman yang di satu pihak berakar dalam tradisi injili, dan di lain pihak belajar dari tanda-tanda zaman, ibarat ranting-ranting anggur, terus bertumbuh, berkembang dan menghasilkan buah berlimpah (Yoh 15:1-8) (wake calarn ngger wa, saung bembang ngger eta).


Beriman Solider
Solidaritas berarti terlibat dalam suka duka perjuangan hidup orang-orang miskin, menderita dan terpinggirkan berpangkal dalam solidaritas Yesus (bdk. Luk 4:18-19).
Sinode III meyakini bahwa solidaritas demikian menuntut transformasi (pembaharuan) kehidupan Gereja Keuskupan Ruteng (cahir a'ti pa'ti na'i; retus ata we'run, dolong ata kop'n, pola ata momang; indang ata di'an). Hal ini mencakupi tiga unsur. Pertama, pembaharuan diri yang meliputi pola pikir dan perilaku yang dituntun oleh Rohkudus.
Solidaritas terjadi bila orang beralih dari cara hidup duniawi menuju gaya hidup baru yang diresapi oleh nilai injili (pertobatan). Kedua, pembaharuan hidup gerejawi yang meliputi baik gaya pastoral maupun struktur yang kondusif. Gereja Keuskupan Ruteng mesti keluar dari 'keong emas' kemapanan struktural, kekakuan norma dan kenyamanan kehidupan dan menjadi Gereja 'pintu terbuka' yang menjadi kanal yang mengalirkan rahmat Allah yang berlimpah ruah di bumi Nucalale. Ketiga, pembaharuan kehidupan masyarakat. Gereja berkewajiban terlibat dalam perjuangan mewujudkan masyarakat Manggarai Raya yang adil, sejahtera, damai dan bersolider.
Dalam konteks zaman yang semakin materialistis, konsumeristis, hedonistis dan individualistis, Gereja Keuskupan Ruteng mesti menjadi sebuah komunitas alternatif (kontras). Dalam komunitas ini yang menjadi prinsip dasar bukanlah perhitungan untung rugi tetapi solidaritas, yang menjadi sumber sukacita bukanlah kenikmatan materiil tetapi kerelaan berbagi rahmat Allah serta yang menjadi tujuan kehidupan bukanlah kelimpahan duniawi tetapi kepenuhan surgawi.*



Iman yang Terlibat


Oleh Dr. Martin Chen
Sekjen Sinode III Keuskupan Ruteng
BERTOLAK dari visi beriman solid (utuh), mandiri (dinamis) dan solider (transformatif), Sinode III Keuskupan Ruteng merumuskan misi dasar dan umum berikut ini.
Dalam bidang pastoral pewartaan: mewartakan Sabda Allah yang sungguh-sungguh meresapi dan menuntun kehidupan sehari-hari manusia seutuhnya sehingga Kristuslah yang menjadi pusat kehidupan (Yoh 14:6). Dalam bidang pastoral liturgi: merayakan liturgi yang mengungkapkan perjumpaan mesra antara Allah dan manusia serta umat satu sama lain dan liturgi yang menjadi sumber motivasi dan kekuatan bagi keterlibatan profetis di tengah dunia (SC 10), serta yang menginkarnasi dalam kebudayaan. Dalam bidang pastoral diakonia: mewujudkan keterlibatan sosial yang memperbaharui kehidupan masyarakat dalam dimensi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi seturut nilai-nilai injili (GS 1).
Dalam bidang pastoral koinonia: membangun persaudaraan dan solidaritas umat beriman seturut persekutuan kasih Allah Tritunggal (LG 4), yang terungkap terutama dalam Komunitas Basis Gerejawi dan kehidupan keluarga. Akhirnya dalam bidang institusional: mengelola sistem dan pola pastoral yang bertolak dari pergumulan konret kehidupan umat dan yang mengarahkan pelayanan pastoral secara integral (bdk. LG 8).
Dimensi Gerejawi dan Sosial dari Iman
Aneka misi dalam pelbagai bidang di atas sesungguhnya ingin menggarisbawahi tentang gagasan iman yang terlibat dalam seluruh kehidupan konkret manusia. Iman tidak boleh dibatasi pada dimensi personal, apalagi dikebiri dalam aspek rohani saja. Tetapi iman merupakan ungkapan pergulatan seluruh diri manusia dalam keterkaitan pelbagai dimensi kehidupannya di hadapan Allah.
Sinode III menemukan problem tendensi penghayatan iman yang individualistis. Iman lebih disadari sebagai urusan pribadi seseorang dengan Allah. Karena itu keselamatan dari Allah maupun pertobatan manusia juga dimengerti secara individual. Hal inilah yang rupanya dapat menjelaskan fenomena kemerosotan partisipasi umat dalam kehidupan menggereja khususnya dalam perayaan ekaristi hari minggu maupun dalam penerimaan sakramen tobat. Semakin banyak orang yang beranggapan, bahwa perjumpaan dengan Allah dapat dilakukan di rumah, tidak mesti dalam perayaan ekaristi hari minggu di Gereja. Demikian pula tobat adalah urusan pribadi seseorang dengan Allah, tidak perlu melalui sakramen pengampunan dosa melalui imam Gereja.
Kemerosotan partisipasi ini tampak pula dalam kehidupan menjemaat di pelbagai Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Pelbagai fenomena ini mencerminkan hilangnya kesadaran dalam diri banyak orang tentang dimensi gerejawi dari iman. Iman lebih dipahami sebagai urusan individu belaka. Padahal iman selalu lahir, bertumbuh dan berkembang dalam Gereja (bdk. Rm 10:14-15. Iman yang sejati selalu bersifat eklesial.

Bukan hanya dimensi gerejawi dari iman yang terabaikan, tetapi juga dimensi sosialnya. Banyak orang yang menghayati iman secara individual, tanpa keterkaitan dengan relasi kehidupan bersama. Implikasi hal ini adalah defisit komitmen dan tanggungjawab sosial dari iman. Orang bahkan bersikap tak mau peduli dengan keterlibatan sosial untuk membangun masyarakat adil-sejahtera dengan alasan bahwa hal ini bukanlah urusan iman (Gereja) tetapi urusan pemerintah (negara).
Di sini terjadi diskrepansi antara iman dan komitmen sosial. Oleh karena itu, Sinode III Keuskupan Ruteng memproklamirkan dimensi sosial profetis sebagai hal intrinsik dari iman Kristiani. Perjuangan membangun masyarakat baru yang terlepas dari jerat kemiskinan maupun bebas dari praktik politik uang, korupsi dan nepotisme merupakan panggilan nurani setiap orang beriman. Sebab sesuai dengan tradisi para nabi, mengenal Allah berarti berbuat keadilan. Ibadat tanpa praksis sosial mewujudkan kebenaran, kejujuran dan keadilan adalah pengkhianatan terhadap iman Kristiani (bdk. Am 4:4-5; Yes 1:10-17; Hos 6:6).
Iman yang Ekologis
Iman mengatur kehidupan seseorang dalam hubungan dengan Allah, sesama dan alam ciptaan. Relasi tiga dimensional inilah yang membentuk kehidupan manusia sebagai orang beriman. Karena itu pula iman selalu berciri ekologis. Atas dasar inilah Sinode III secara khusus menegaskan komitmen Gereja Keuskupan Ruteng untuk menjadi mitra Allah dalam memelihara dan memperjuangkan keutuhan ciptaan.
Lebih dari itu Sinode dalam perspektif communio ekologis melihat dan memperlakukan alam sebagai sahabat dan saudara, sebagai mitra dialog yang dinamis dan harmonis dalam relasi komplementer sebagai satu keluarga universal (bdk. LS, 89).
Persoalan ekologi bersifat kompleks. Ia tidak hanya menyangkut kerusakan dan kehancuran lingkungan tetapi berkaitan dengan orientasi dan gaya hidup manusia yang konsumptif maupun dengan problem ketidakadilan sosial. Oleh sebab itu terinspirasi oleh ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si (Mei 2015), Sinode III Keuskupan Ruteng menegaskan perlunya pertobatan ekologis dan memproklamirkan pastoral ekologi integral (LS 137), yang meliputi dimensi ekonomi, politik, sosial, kultural dan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Ekologi holistik ini menuntut pembaharuan gaya hidup ugahari-solider serta pembaharuan sistem sosial yang menjamin keadilan sosial dan keutuhan ciptaan. Lebih dari itu diperlukan pula pembaharuan paradigma berpikir yang tidak mengobyektivasi alam tetapi memperlakukannya dengan lembut sebagai subyek dialogal, bahkan sebagai sesama anggota keluarga: "Bumi, rumah kita bersama, bagaikan saudari, yang dengannya kita membagikan kehidupan, bagaikan mama yang cantik, yang merangkul kita dalam pelukannya." (LS 1).*