Gereja SMS
Jumat, 7 Agustus 2015 14:24
http://kupang.tribunnews.com/2015/08/07/gereja-sms
Oleh Dr. Martin Chen
Sekjen Sinode III Keuskupan Ruteng
SMS adalah istilah yang akrab bagi semua insan dalam
zaman teknologi informatika dewasa ini. Ia dikenal oleh orang dewasa
maupun anak kecil, serta menjangkau bukan hanya kota yang berada di
pusat tapi juga kampung yang terletak di udik. Maka istilah Gereja SMS
mensinyalkan kehadiran Gereja yang menyapa semua orang secara konkret
dari segala lapisan.
Gereja SMS bukan menayangkan kehadiran Gereja yang maya dan anonim,
tetapi yang sungguh terlibat dalam pergumulan hidup manusia. Ia tidak
menampilkan kehadiran yang eksklusif tetapi mengisahkan narasi-narasi
inklusif perjumpaan Allah dengan manusia di segala penjuru bumi (bdk.
Mat 28:19). Akronim dari Gereja SMS: solid, mandiri, solider. Inilah
yang menjadi arah dasar pastoral keuskupan Ruteng, hasil utama Sinode
III Keuskupan Ruteng Sesi Puncak tanggal 13-19 Juli 2015.
Beriman Solid
Solid berarti teguh dan utuh.
Gereja keuskupan Ruteng ingin menjadi Gereja yang menghayati iman secara
holsitik. Iman bukanlah sesuatu yang berurusan dengan hal rohani saja,
tetapi juga meliputi dimensi jasmani kehidupan manusia. Iman menggerakan
manusia untuk tidak hanya menari indah di seputar altar Gereja tetapi
melangkah ke tengah dunia dan berjingkrak penuh suka cita di sana.
Horison kerinduan akan kepenuhan surgawi menjadi sumber kekuatan dan
inspirasi pergulatan hidup nyata di muka bumi ini.
Maka dengan visi iman yang solid ini, Gereja keuskupan Ruteng ingin
mengatasi problem tendensi penghayatan iman yang alienatif, yang
terasing dari kehidupan harian dalam diri banyak kalangan selama ini.
Gereja ingin hadir bukan sebagai penonton penderitaan umat, juga bukan
ingin ditonton sebagai menara gading yang indah di tengah dunia. Tetapi
ia ingin menjadi garam dan ragi yang meresapi seluruh kehidupan manusia
dan memberikan kelezatan dan sukacita yang melimpah (Mat 5:13).
Dengan demikian visi iman yang solid (utuh) ingin pula menjawabi
problem liturgisentris yang menjadi pola pastoral Gereja selama ini.
Keuskupan Ruteng ingin membangun sebuah gaya pastoral baru yang tidak
hanya berkutat dengan doa dan ibadat, pelayanan sakramen dan devosi.
Meskipun liturgi adalah sumber dan puncak kehidupan beriman (SC 10),
namun tidaklah tepat bila kehidupan Gereja dibatasi dan dikerangkengi
dengan perayaan liturgi.
Malah liturgi yang sejati menuntut lebih dari sekedar rubrikasi dan
ritualisasi. Perayaan liturgi menjadi kaku dan mandul bila tidak
diinspirasi oleh Sabda Allah dan tidak menjadi motivasi perutusan
profetis dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu pastoral Gereja
haruslah bersifat integral, artinya mencakupi bidang pewartaan
(kerygma), bidang pengudusan (liturgi), dan bidang pelayanan (diakonia)
secara serasi dan seimbang.
Tugas perutusan Gereja tidaklah hanya untuk merayakan iman dalam
liturgi tetapi juga untuk terus menerus mewartakan iman dan mewujudkan
iman itu dalam pergumulan konkret di tengah dunia. Hanya dengan
penghayatan iman yang integral ini, Gereja Katolik Manggarai semakin
menjadi persekutan yang kokoh dan solid (nai ca anggit, tuka ca
le'leng).
Beriman Mandiri
Selama ini kemandirian dimengerti
sebagai kemampuan Gereja secara finansial dalam menghidupi dirinya
sendiri maupun secara personal dalam ketersediaan tenaga kepemimpinan
yang memadai. Namun arti mandiri lebih dalam dan luas daripada sekadar
aspek finansial dan organisatoris.
Secara esensial mandiri berkaitan dengan kemampuan Gereja berkat
kekuatan Rohkudus untuk berdaya tahan dalam segala badai yang melanda
maupun untuk berdaya kreatif keluar dari krisis serta merangkai masa
depan yang baru. Maka melalui visi iman yang mandiri, Gereja Keuskupan
Ruteng ingin menegaskan keyakinan akan rahmat Allah yang menjadi sumber
kekuatan dirinya sehingga berdaya lentur dalam segala tantangan, dan
dalam segala situasi selalu berkembang kreatif.
Krisis dalam kehidupan Gereja seringkali terjadi bukan berasal dari
luar, tetapi dari dalam diri. Gereja tidak menjadi tanda kehadiran Allah
yang penuh belas kasih di tengah dunia, ketika dia menjadi institusi
moral yang kaku dan kejam. Gereja menjadi kerdil dan beku bila dia
merasa nyaman dalam kehidupan dan gaya pastoral yang rutin. Gereja
kehilangan roh, bila pemimpin Gereja terbius dalam kemapanan struktural
dan kenikmatan status dan umat hidup dalam dunia perasaan damai yang
semu. Hal inilah yang dikritik pedas oleh Paus Fransiskus.
Menurutnya, "sebuah Gereja yang atas dasar ketertutupan dan
kenyamanannya, melekat dengan kemapanan diri sendiri, adalah Gereja yang
sakit" (EG, 49). Sebaliknya beliau mengajak Gereja menjadi "Gereja
dengan pintu terbuka" yang berjalan keluar dari dirinya sendiri, pergi
ke jalan-jalan meski harus menjadi penyok, berdebu dan berlumuran darah
karena ingin mewartakan sukacita injil kepada orang miskin, menderita
dan terpinggirkan (EG, 49).
Jadi gagasan iman yang mandiri menggarisbawahi gaya pastoral baru
yang kontekstual, yang sungguh bertolak dari jeritan penderitaan dan
sorakkan sukacita umat, dan bukannya pastoral rutin yang mengajarkan
prinsip abstrak dan sekedar merayakan ritual iman yang baku. Lebih dari
itu iman yang mandiri mengungkapkan sebuah gaya hidup yang baru,
spiritualitas yang berpangkal dalam kesaksian hidup Yesus sekaligus
tanggap terhadap perkembangan zaman.
Maka konsep mandiri sesungguhnya menegaskan gagasan iman yang
dinamis. Yakni iman yang di satu pihak berakar dalam tradisi injili, dan
di lain pihak belajar dari tanda-tanda zaman, ibarat ranting-ranting
anggur, terus bertumbuh, berkembang dan menghasilkan buah berlimpah (Yoh
15:1-8) (wake calarn ngger wa, saung bembang ngger eta).
Beriman Solider
Solidaritas berarti terlibat
dalam suka duka perjuangan hidup orang-orang miskin, menderita dan
terpinggirkan berpangkal dalam solidaritas Yesus (bdk. Luk 4:18-19).
Sinode III meyakini bahwa solidaritas demikian menuntut transformasi
(pembaharuan) kehidupan Gereja Keuskupan Ruteng (cahir a'ti pa'ti na'i;
retus ata we'run, dolong ata kop'n, pola ata momang; indang ata di'an).
Hal ini mencakupi tiga unsur. Pertama, pembaharuan diri yang meliputi
pola pikir dan perilaku yang dituntun oleh Rohkudus.
Solidaritas terjadi bila orang beralih dari cara hidup duniawi menuju
gaya hidup baru yang diresapi oleh nilai injili (pertobatan). Kedua,
pembaharuan hidup gerejawi yang meliputi baik gaya pastoral maupun
struktur yang kondusif. Gereja Keuskupan Ruteng mesti keluar dari 'keong
emas' kemapanan struktural, kekakuan norma dan kenyamanan kehidupan dan
menjadi Gereja 'pintu terbuka' yang menjadi kanal yang mengalirkan
rahmat Allah yang berlimpah ruah di bumi Nucalale. Ketiga, pembaharuan
kehidupan masyarakat. Gereja berkewajiban terlibat dalam perjuangan
mewujudkan masyarakat Manggarai Raya yang adil, sejahtera, damai dan
bersolider.
Dalam konteks zaman yang semakin materialistis, konsumeristis,
hedonistis dan individualistis, Gereja Keuskupan Ruteng mesti menjadi
sebuah komunitas alternatif (kontras). Dalam komunitas ini yang menjadi
prinsip dasar bukanlah perhitungan untung rugi tetapi solidaritas, yang
menjadi sumber sukacita bukanlah kenikmatan materiil tetapi kerelaan
berbagi rahmat Allah serta yang menjadi tujuan kehidupan bukanlah
kelimpahan duniawi tetapi kepenuhan surgawi.*
Iman yang Terlibat
Oleh Dr. Martin Chen
Sekjen Sinode III Keuskupan Ruteng
BERTOLAK dari visi beriman solid (utuh), mandiri
(dinamis) dan solider (transformatif), Sinode III Keuskupan Ruteng
merumuskan misi dasar dan umum berikut ini.
Dalam bidang pastoral pewartaan: mewartakan Sabda Allah yang
sungguh-sungguh meresapi dan menuntun kehidupan sehari-hari manusia
seutuhnya sehingga Kristuslah yang menjadi pusat kehidupan (Yoh 14:6).
Dalam bidang pastoral liturgi: merayakan liturgi yang mengungkapkan
perjumpaan mesra antara Allah dan manusia serta umat satu sama lain dan
liturgi yang menjadi sumber motivasi dan kekuatan bagi keterlibatan
profetis di tengah dunia (SC 10), serta yang menginkarnasi dalam
kebudayaan. Dalam bidang pastoral diakonia: mewujudkan keterlibatan
sosial yang memperbaharui kehidupan masyarakat dalam dimensi sosial
politik, sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi seturut
nilai-nilai injili (GS 1).
Dalam bidang pastoral koinonia: membangun persaudaraan dan
solidaritas umat beriman seturut persekutuan kasih Allah Tritunggal (LG
4), yang terungkap terutama dalam Komunitas Basis Gerejawi dan kehidupan
keluarga. Akhirnya dalam bidang institusional: mengelola sistem dan
pola pastoral yang bertolak dari pergumulan konret kehidupan umat dan
yang mengarahkan pelayanan pastoral secara integral (bdk. LG 8).
Dimensi Gerejawi dan Sosial dari Iman
Aneka misi
dalam pelbagai bidang di atas sesungguhnya ingin menggarisbawahi tentang
gagasan iman yang terlibat dalam seluruh kehidupan konkret manusia.
Iman tidak boleh dibatasi pada dimensi personal, apalagi dikebiri dalam
aspek rohani saja. Tetapi iman merupakan ungkapan pergulatan seluruh
diri manusia dalam keterkaitan pelbagai dimensi kehidupannya di hadapan
Allah.
Sinode III menemukan problem tendensi penghayatan iman yang
individualistis. Iman lebih disadari sebagai urusan pribadi seseorang
dengan Allah. Karena itu keselamatan dari Allah maupun pertobatan
manusia juga dimengerti secara individual. Hal inilah yang rupanya dapat
menjelaskan fenomena kemerosotan partisipasi umat dalam kehidupan
menggereja khususnya dalam perayaan ekaristi hari minggu maupun dalam
penerimaan sakramen tobat. Semakin banyak orang yang beranggapan, bahwa
perjumpaan dengan Allah dapat dilakukan di rumah, tidak mesti dalam
perayaan ekaristi hari minggu di Gereja. Demikian pula tobat adalah
urusan pribadi seseorang dengan Allah, tidak perlu melalui sakramen
pengampunan dosa melalui imam Gereja.
Kemerosotan partisipasi ini tampak pula dalam kehidupan menjemaat di
pelbagai Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Pelbagai fenomena ini
mencerminkan hilangnya kesadaran dalam diri banyak orang tentang dimensi
gerejawi dari iman. Iman lebih dipahami sebagai urusan individu belaka.
Padahal iman selalu lahir, bertumbuh dan berkembang dalam Gereja (bdk.
Rm 10:14-15. Iman yang sejati selalu bersifat eklesial.
Bukan hanya dimensi gerejawi dari iman yang terabaikan, tetapi
juga dimensi sosialnya. Banyak orang yang menghayati iman secara
individual, tanpa keterkaitan dengan relasi kehidupan bersama. Implikasi
hal ini adalah defisit komitmen dan tanggungjawab sosial dari iman.
Orang bahkan bersikap tak mau peduli dengan keterlibatan sosial untuk
membangun masyarakat adil-sejahtera dengan alasan bahwa hal ini bukanlah
urusan iman (Gereja) tetapi urusan pemerintah (negara).
Di sini terjadi diskrepansi antara iman dan komitmen sosial. Oleh
karena itu, Sinode III Keuskupan Ruteng memproklamirkan dimensi sosial
profetis sebagai hal intrinsik dari iman Kristiani. Perjuangan membangun
masyarakat baru yang terlepas dari jerat kemiskinan maupun bebas dari
praktik politik uang, korupsi dan nepotisme merupakan panggilan nurani
setiap orang beriman. Sebab sesuai dengan tradisi para nabi, mengenal
Allah berarti berbuat keadilan. Ibadat tanpa praksis sosial mewujudkan
kebenaran, kejujuran dan keadilan adalah pengkhianatan terhadap iman
Kristiani (bdk. Am 4:4-5; Yes 1:10-17; Hos 6:6).
Iman yang Ekologis
Iman mengatur kehidupan
seseorang dalam hubungan dengan Allah, sesama dan alam ciptaan. Relasi
tiga dimensional inilah yang membentuk kehidupan manusia sebagai orang
beriman. Karena itu pula iman selalu berciri ekologis. Atas dasar inilah
Sinode III secara khusus menegaskan komitmen Gereja Keuskupan Ruteng
untuk menjadi mitra Allah dalam memelihara dan memperjuangkan keutuhan
ciptaan.
Lebih dari itu Sinode dalam perspektif communio ekologis melihat dan
memperlakukan alam sebagai sahabat dan saudara, sebagai mitra dialog
yang dinamis dan harmonis dalam relasi komplementer sebagai satu
keluarga universal (bdk. LS, 89).
Persoalan ekologi bersifat kompleks. Ia tidak hanya menyangkut
kerusakan dan kehancuran lingkungan tetapi berkaitan dengan orientasi
dan gaya hidup manusia yang konsumptif maupun dengan problem
ketidakadilan sosial. Oleh sebab itu terinspirasi oleh ensiklik Paus
Fransiskus Laudato Si (Mei 2015), Sinode III Keuskupan Ruteng menegaskan
perlunya pertobatan ekologis dan memproklamirkan pastoral ekologi
integral (LS 137), yang meliputi dimensi ekonomi, politik, sosial,
kultural dan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Ekologi holistik ini menuntut pembaharuan gaya hidup ugahari-solider
serta pembaharuan sistem sosial yang menjamin keadilan sosial dan
keutuhan ciptaan. Lebih dari itu diperlukan pula pembaharuan paradigma
berpikir yang tidak mengobyektivasi alam tetapi memperlakukannya dengan
lembut sebagai subyek dialogal, bahkan sebagai sesama anggota keluarga:
"Bumi, rumah kita bersama, bagaikan saudari, yang dengannya kita
membagikan kehidupan, bagaikan mama yang cantik, yang merangkul kita
dalam pelukannya." (LS 1).*